Bicara Kebiasaan Menunda

sumber: twitter
Siapa di antara kalian yang proscrastinator? Aku rasa pernyataan Piers Steel, seorang ahli tingkah laku manusia akan sedikit menenangkan kalian yang sering menunda pekerjaan. Kata beliau, 95 dari 100 manusia suka menunda pekerjaannya. Itu artinya, kamu masih dalam lingkaran kewajaran. Tapi nih, kalau terus-terusan melakukan aktivitas menunda selain merugi, ternyata bisa juga menjadi gangguan psikologis, Teman.

Aku pernah berdiskusi dengan seorang teman tentang manfaat menunda pekerjaan. Apa? Emang ada manfaatnya? Wkwkwk. Nah ini yang akan aku tulis, berdasarkan pengalaman dan apa yang aku baca.

Procrastination atau kebiasaan menunda adalah aktivitas yang sebenarnya muncul bukan karena seseorang memiliki masalah terhadap waktu atau tugasnya. Namun bermasalah terhadap mood. Kondisi ini tidak permanen, tidak pula muncul sekali waktu. Ia cenderung berulang. 

Hm, setelah menunda suatu pekerjaan, apakah kamu merasa bersalah? Perasaan tersebut muncul karena kamu secara sadar dan sukarela memilih untuk berkata pada dirimu sendiri, "nanti aja deh ngerjainnya." Baru deh kena tomorrow syndrome.

Oke oke. Apa saja sih yang bisa menjadi faktor kamu menunda pekerjaan? Dari karakteristik kerja, ada yang namanya stressor kanan kiri yang memengaruhi. Entah itu tanggung jawab yang kompleks, peran yang ambigu, struktur yang tidak jelas birokrasi, dll. Semakin  seseorang butuh usaha untuk menghadapi stressor tersebut, semakin sulit meregulasi mandiri. Itu artinya semakin besar peluang seseorang untuk menunda pekerjaan. Itulah mengapa Margaret Etwood pernah bilang bahwa kecenderungan menunda bagi seorang penulis itu sangat besar, ya karena setiap halaman baru, kamu akan disajikan lembaran kosong yang perlu kamu isi. Begitu.

Lalu gimana dong?

Ada beberapa tips gabungan dari Emilia dan Samantha Leath yang insyaAllah sedikit demi sedikit bisa diterapkan. Jangan langsung, pelan-pelan. Wkwk.

1. Kalau masalah menundamu terletak pada stressor yang ambigu. Maksudnya, apa yang berhubungan dengan tugasmu masih belum jelas, klarifikasikan dan diskusikan. Biar nemu jawaban.

2. Berhenti menghakimi dirimu dan pekerjaanmu, bahkan saat pekerjaanmu belum tuntas. Asli, ini bikin malas nglanjutin. Hehe. 

Aku pernah baca tulisan orang, "don't spend too much time finding mistakes on it work while u re still in the process of making something. Do it later. But don't let the obsession to perfection hold you from doing what matters or make you think that you are not good enough." Begituu guys.

3. Bikin To Don't List

Misal, gak akan chat doi mulai jam 8 sampai istirahat siang. Atau menjauhkan bantal dari tempat kerja. Atau buka Instagram setelah satu jam full bekerja. Atau apapun. Setiap orang akan beda-beda, yang jelas pasang usaha lebih untuk distraction tersebut. Aku tahu ini sulit pol, tapi buat gratifikasi instan tersebut lebih susah diakses. Diri kalian sendiri yang tahu jawabannya.

4. Don't toggle between assignments. Berapa tab yang kalian buka saat mengerjakan sesuatu di laptop? Dan apakah semuanya berkesinambungan? Yaaa! Multitasking justru menimbulkan masalah baru. Satu aja belum beres kok ya nambah. Duh.

5. Nah kalau ini yang biasa aku lakukan. Ketika suatu tugas diberi deadline, pasang deadline kamu secara pribadi. Aku pribadi lebih suka melihat catatan tugasku sendiri dari pada DL dr sumber penugasan. Biasanya aku pasang deadline H-3 sampai H-1 dari deadline asli, dengan begitu semalas apapun aku, sedikit meminimalisasi keterlambatan dan kegupuhan. Kalau lagi gak malas ya ada tambahan waktu untuk koreksi dan perbaikan.

Oke, mungkin itu dulu. Nanti disambung lagi dengan topik lainnya. 

Remember, everyone falls into the procrastination trap. There's even research to prove it. All that matters is that at some point you put down your distraction and refocus. 

Saling dukung ya.


Mengapa Punya Hobi Membandingkan Diri dengan Orang Lain


"Kok dia bisa ya lulus duluan? Padahal aku lebih rajin bimbingan."
"Dia bisa jadi volunteer internasional, berarti aku juga harus bisa. Kan bahasa Inggrisku tidak kalah oke dengannya."
"Pencapaiannya banyak banget ya, gak kayak aku yang kentang gini."
"Pengen deh jadi putih seperti mbak itu."

Dan banyak ungkapan-ungkapan lain yang pada intinya adalah membandingkan diri. Bahan rujukan untuk membuat tulisan ini sudah ada sejak aku sadar, mengapa aku sering menetapkan standar diri berdasarkan apa yang aku lihat. Beberapa waktu termotivasi, beberapa waktu lagi iri, sisanya overthinking. Mantap gak tuh. Nah, tulisan ini akan membahas tentang, sebenarnya perlu gak sih membandingkan diri dengan orang lain?

Dikutip dari salah satu jurnal American Psycological Association tahun 2010, intinya membandingkan diri adalah menjadikan (kondisi dan posisi) orang lain sebagai sumber informasi untuk menentukan kondisi dan posisi kita. Dalam hal apa? Kemampuan (how we are doing) dan opini atau pendapat (how we should think, feel, and behave). Nah, aktivitas membandingkan diri jika sudah mendalam tidak hanya melibatkan hal yang lagi dibandingin aja, tetapi juga memiliki dimensi yang berkaitan. Misalnya,  membandingkan kemampuan presentasi, kita tidak hanya melihat hasilnya saja oh presentasinya oke, seluruh audience tertuju padanya. Tidak, tetapi juga memperhatikan hal-hal yang berkaitan seperti usia, durasi berlatih, mentor, pengalaman, pola, dll. Kalian sering gak sadar kan jika aktivitas membandingkan diri kalian sudah sejauh itu?

Motif dari social comparison ini beragam, ada yang digunakan sebagai evaluasi diri, pengembangan diri, memperkuat diri atau menciptakan rasa yang lebih baik, dan ajang menentukan identitas sosial. Nah, mengapa sih proses membandingkan diri itu ada? Biasanya kita membandingkan diri dengan orang yang memiliki unsur kesamaan dengan kita. Dari jenis-jenis social comparison, paling populer dan paling banyak dialami adalah Upward Comparison a.k.a membandingkan diri pada orang yang kita anggap lebih mumpuni/baik/pantas dari kita. Konsekuensinya ada dua, termotivasi atau iri. Nah loh. 

Membandingkan diri semakin mudah dilakukan seseorang dengan adanya media sosial. Kalau kata Emiliats, kapasitas individu untuk memilih target perbandingan terbatas pada pilihan yang tersedia. Nah, tadi kan sudah dikatakan bahwa kesamaan menjadi faktor kuat dalam membandingkan diri.  Jadi, besar potensi media sosial dalam menunjang aktivitas membandingkan diri. Bayangin deh, banyak hal yang secara sukarela disebarluaskan dan tanpa disadari kita mengonsumsi bermacam-macam hal yang sama (usia, gender, pendidikan, hobi, dan mungkin lebih spesifik dari itu). Efek membandingkan diri ini bergantung pada dua faktor, kondisi pelaku dan bagaimana pelaku mengelolanya.  

Sampai sini rasanya, meminta agar diri berhenti melakukan banding-membandingkan sedikit tidak realistis. Sebab, aktivitas tersebut merupakan respon alami ketika kita menemui seseorang yang memiliki kesamaan mencapai pencapaian yang lebih. Akan lebih realistis, jika mencoba melakukan hal-hal yang disarankan oleh Emilia berikut.

1. Tanyakan fungsi atau motif dari upaya kamu membandingkan diri. Kalau tidak menemukan motifnya, urungkan!
2. Data insight yang didapatkan dari aktivitas membandingkan diri. Bisa berdampak gak? bantu kamu mencapai motif yang dimaksud gak? Kalau nggak, itu toxic. Hentikan!
3. Bangun support system yang kuat dan mengerti. Support system ini akan bantu kamu untuk mengingatkan kamu kalau secara tidak sadar mulai bandingin diri dan menyiksa self-esteem.

Sadar atau tidak, membandingkan diri pasti terjadi. Justru tidak realistis ketika melarang diri untuk tidak membandingkan diri atau sampai berhenti total. Sebab semesta bukan hanya kamu penghuninya. Setelah membaca tulisan ini, aku harap kita semua bisa lebih paham kondisi dan tahu apakah membandingkan diri yang kamu lakukan itu memberi keutungan untukmu. Apalagi tidak semua dimensi ketersinambungan atau related dimension kita ketahui. 

Jadi, yuk lebih berani mengontrol, menolak, dan bilang enggak kalau memang meracuni. Sampai jumpa ditulisan berikutnya.

Selembar Surat untuk Ayah Ibu


Jujur saja, ayah ibuku tidak pernah tahu anaknya manis berkata-kata. 

Mereka hanya tahu aku gemar menulis. Itu saja. 

Nanti, saat aku bukan lagi tanggung jawab mereka, aku ingin mereka tetap menganggapku putri kecilnya yang gemar membuat ayah marah sebab suka lama membalas pesan, dan gemar merengek pada ibu tentang kehidupan. 

Aku ingin ibu tahu, aku lahir dari kesabarannya. Bukan dari rahim yang sempat membuatnya kesakitan sepanjang malam.

Aku ingin ayah tahu, aku dirawat oleh tawanya di penghujung hari penuh lelah. Bukan dari emosinya saat aku menjawab belum makan ketika ia bertanya.

Aku ingin ayah-ibuku tahu, sejauh apapun langkahku pergi, kita akan tetap rekat dengan doa.

Agar suatu ketika aku merasakan kurangnya hidup, aku tahu bahwa ayah-ibuku tak pernah lelah memberi cinta-- di atas macam keluh yang mereka simpan diam-diam.


Kediri, 23 tahun ayah-ibuku bersama.




Destinasi Masa Mendatang

Doa baik agar sumber gambar tidak comot dari Pinterest
melainkan dokumentasi pribadi. Amin.

    Mimpi yang mana yang Tuhan kabulkan untuk kita     adalah kejutan
    Kita harus percaya apapun yang Ia berikan adalah        takdir terbaik untuk hamba-Nya

    Bicara tentang destinasi impian
    Tetap saja Baitullah menjadi yang utama

    Beribu destinasi indah yang ingin disinggahi,
    Indonesia dengan pulau-pulau apiknya
    Banyak negara dengan bangunan megahnya
    Tempat-tempat manis yang memanjakan mata
    Tetap saja Tanah Suci yang paling romantis

    Suatu ketika
    Atas usaha yang telah aku lakukan
    Dan atas waktu yang dikuasakan Tuhan


Ayahku, ibuku, adikku, atau mungkin juga suamiku akan menemaniku bersimpuh sujud di sana

Aku ingin membawa mereka merasakan nikmatnya melepas Jumat subuh di Masjidil Haram
Menikmati zikir pagi bersama mentari Makkah
Memanjat doa di sepanjang hari yang syahdu
Dan menutup hari dengan limpahan syukur dengan langit senja di atas Ka'bah
Aku ingin.

Asrama UM: Sebuah Cerita dari Rantau

Jika suatu ketika ada yang bertanya padaku, hal paling berkesan selama kuliah, aku akan menjawab asrama dan cerita-cerita yang tercipta. Tak hanya itu sebenarnya, namun asrama menjadi begitu istimewa sebab di situlah aku tersesat dan menemukan banyak makna yang berpengaruh bagiku. 

Dulu, ketika aku resmi menjadi mahasiswa UM, Rosi bilang ke ibu, "cari kos susah ya, Bu. Gak ada yang cocok, gimana kalau asrama aja?"  

Reaksi pertama ibu yang pasti terkejut dan merespon, "yakin a?" wkwkwk. 

Aku diam tidak menjawab. Begitu pula ayah yang saat itu turut mendengar obrolanku dengan ibu. Suasana sunyi tercipta beberapa detik, lalu ibu melanjutkan ucapannya, "asrama pasti banyak aturannya, kalau ibu sih senang dan merasa aman kalau Rosi mau di asrama, tapi apa Rosi gak tertekan, takutnya justru ganggu kuliahmu."



Singkat cerita, dengan banyak pertimbangan kami sepakat memilih asrama. Biar kuingat, saat itu aku mendaftar, seleksi, dan semuanya sendiri karena ayah sibuk dengan pekerjaannya. Aku tak bermalam di Malang, aku langsung balik Kediri setelah wawancara. 


Sejujurnya, banyak hal yang membuatku cemas dan ragu jika nanti menjadi bagian dari asrama. Terlebih jika sifat tidak mau diaturku ini tidak dapat terkontrol dengan baik.

Bulan-bulan pertama di asrama, aku sulit sekali beradaptasi, khususnya tentang berbagi kamar. Bagiku kamar adalah privasi, tapi saat di asrama harus rela menipiskan dinding dari  istilah privasi. Saat aku terbiasa tidur dengan lampu padam, aku harus mengalah dengan lampu terang. Saat aku terbiasa me time di dalam kamar tanpa ada yang bisa mengganggu, aku harus sadar jika ini kamar bersama. Ketika teman kamarku kesulitan entah sakit atau sedih, aku harus peduli dan merelakan aktivitasku untuk mendengar ceritanya. Ya. semua kebiasaan itu terbilang baru untukku. 


Semester satu aku cukup riweh dengan banyaknya kegiatan yang harus aku ikuti. Kuliah dan tugas-tugasnya; kegiatan jurusan, fakultas, universitas; ditambah kegiatan asrama. Semua berjalan bersama tanpa ada yang mau mengalah. Benar-benar ajang adaptasi yang menguras emosi dan energi.

 

Memasuki semester kedua, beragam cerita asrama mulai membuatku nyaman, walau tidak semua menyenangkan namun cukup membuatku mengerti pentingnya kepedulian, mulai sayang. Akhirnya aku coba mendaftar sebagai Pengurus Rumah Tangga Asrama dan diterima. PRTA adalah organisasi pertamaku pada masa kuliah. Walau jika aku harus jujur (lagi), aku tidak sepenuh hati dalam mendaftarkan diri sebagai PRTA. 

Semua kisah-kisah di asrama masih tersimpan rapi sekali dalam kotak kenanganku. Begitu panjang dan melelahkan jika kuulas semua. Huhu. Ingin rasanya kutulis menjadi bagian tersendiri dalam bukuku nanti. Allahumma Shalli ala sayyidina Muhammad. 

Rapat tiap malam, proker menumpuk, dimarahin ibu satpam sampai nangistugas kuliah yang kurang maksimal, begadang siapin proker, paginya pas kuliah ngantuk, padahal aku gak bisa merem kalau di kelas, masalah makan gak usah ditanya-- sangat tidak tepat waktu. Banyak hal-hal baru yang membuatku lelah namun kalau dinikmati asik juga. Hehe.

 

Cerita demi cerita terus bertambah hingga tahun kedua aku di asrama. Punya adik-adik ratusan, saudara-saudara satu atap yang tanpa sadar sangat mengenal bagaimana aku. Banyak. Seperti kataku, semua cerita masih terekam cukup jelas dalam pikiranku. Beberapa yang sangat berkesan aku simpan dalam hati. 

Asrama. Selalu meninggalkan bekas yang tak ingin dilepas. Melimpah cerita dan pengalaman. Kalian tahu hal paling mengubahku saat di asrama? Menjadi imam salat dari ratusan warga asrama. Nuansa hatiku berubah tanpa bisa kujelaskan rasanya. Benar-benar damage unik dan luar biasa. Pengen nangis pas nulis bagian ini. Kangen banget sama asrama yang sudah banyak pembangunan hehe.

 

Hingga tiba pada aku sebagai salah tiga dari saudaraku, Ama dan Taqi yang melanjutkan asrama di tahun ketiga. Qadarullah, di awal-awal, aku yang sangat tidak nyaman dengan atmosfer asrama justru menjadi salah satu dari tiga warga yang paling lama bertahan. Semesta memang lucu, dipinta Tuhan untuk menjadikan penghuninya terkejut dengan kuasaNya yang luar biasa. 

Aku ingin cerita lebih banyak lagi tentang asrama. Tentang kepedulian, berbagi, cinta, semua. Namun tidak di sini. Nanti kapan-kapan. Yang jelas, terima kasih untuk semua cerita dan pelajaran berharga dari asrama dan penghuni-penghuninya. Aku rindu.

 


Bahagia dari Diri Sendiri

Apa yang membuatmu bahagia? 

Apa ketika kamu mendapat nilai A di setiap mata kuliahmu? 

Apa ketika bosmu berkata, gajimu naik per bulan depan?

Apa ketika pasanganmu rutin menyisihkan waktu untukmu di tengah kesibukannya?

Atau mungkin saat kamu mendengar kabar bahwa ada temanmu mencapai keberhasilan berkat saran dan bantuanmu?

Tampaknya memang tidak ada ukuran yang jelas untuk sebuah kebahagiaan. Pernah gak sih kamu justru cemas ketika nilai seluruh mata kuliahmu baik atau bahkan hampir sempurna? justru overthinking saat bosmu memberi kepercayaan lebih padamu? Bahkan kamu takut jika pekerjaan pasanganmu akan berantakan karena waktu yang rutin ia sisihkan? Hm, mungkin juga kamu bingung, mengapa temanmu berhasil menerapkan saran-saranmu, sedangkan kamu tidak. 

Hahaha, pikiranku terlalu menyebalkan ya?

Nah, ini nyambung dengan bagian pertama rubrik ini. Seperti kataku, aku adalah orang dengan banyak pertimbangan. Orang yang punya banyak pilihan konsep, gagasan, namun cukup sulit mewujudkan. Jadi, jika ditanya mengenai hal apa sih yang membuatmu bahagia?

Jawabanku hanya, ketika aku bisa percaya bahwa semua itu semudah  jalani saja dulu

Ya. hidup memang kumpulan pilihan-pilihan. Setiap alur yang kita lewati selalu menyajikan pertanyaan, mau yang mana? kemana? dengan siapa? Pertimbangan itu perlu, namun mencari terlalu banyak pertimbangan dalam penentuan pilihan ternyata cukup menghabiskan waktu dan energi. Seringkali, karena terlalu sibuk dengan pertimbangan kita lupa dengan hal lain yang menunggu giliran.

Seseorang pernah mengirim pesan singkat kepadaku, intinya, jangan terlalu khawatir dengan masa depan, lebih baik jalani saja yang di depan mata dengan maksimal.

Ditambah lagi setelah membaca bukunya Mark Manson yang populer dimana-mana. Katanya, "Anda tidak akan pernah bahagia jika Anda terus mencari apa yang terkandung di dalam kebahagiaan." terlihat menarik untuk disangkal, namun maknanya dalam. Coba baca bukunya!

Benar, kita tidak akan tahu apa yang ada di balik pintu jika kita tidak segera membukanya. Bisa jadi sepuluh menit dari sekarang hal baik dari balik pintu tersebut berubah, dan kita kehilangan kesempatan. Jalani saja dulu, Ros! urusan hasil urusan Tuhan.


Tentang Diri Ini



Halo Oktober dalam blog!

Agar kamu lebih bermakna, biarkan tuan rumahmu mengisimu dengan beberapa tantangan. 

Tantangan ini datang dari  story WhatsApp seorang teman. Berbicara tentang konsistensi menulis, ini bukan tantangan yang baru sih, namun tidak salah untuk mencobanya (lagi). Aturan mainnya, ada 30 topik untuk 30 hari yang sudah ditentukan sebelumnya. Dan semua tulisan tersebut akan aku unggah pada halaman blog-ku setiap hari. Seharusnya sih mulai 1 Oktober, tetapi baru aku mulai di pekan kedua Oktober 2020 dengan beberapa pertimbangan. Salah satunya terkait persiapanku menghadapi sidang akhir. 

Oke, cukup pembukaannya. Sekarang Rosi mulai untuk tantangan hari pertama. Mendeskripsikan diri sendiri. Hm, mari kita mulai.

Sejujurnya aku cukup narsis jika bicara tentang diri sendiri. Bagiku, menceritakan diri sendiri adalah bentuk usaha mengenal diri. Baik pencapaianku, maupun keteledoranku. Jika mengacu pada hasil tes kepribadian MBTI, aku adalah tipe manusia ENFP- A/T Campaigner. Dari sini sudah bisa ditebak di mana letak nyamanku. Aku kurang suka bergantung pada orang lain dan diatur orang lain, itulah mengapa bepergian atau melakukan sesuatu seorang diri bukan hal yang sulit untukku. Bisa dikatakan aku lebih nyaman dengan diri sendiri, atau mungkin hanya pergi dengan dua hingga tiga orang saja. Tapi, kok ekstrovert ya? Sebab aku cukup mudah bersosialisasi, mungkin.

Aku melihat diriku sebagai manusia paling netral yang tidak punya dominasi apapun. Jika ada, itupun hanya selisih sedikit. Inilah mengapa aku menjadi terkesan kurang berciri khas. Di tempat sepi ok, di tempat ramai ayo. Aku bergaul dengan teman-teman tipe A ok, dengan tipe B pun tidak masalah. Begitu netralnya aku, hingga sikap plin-plan sering muncul ketika aku akan menentukan pilihan. Lama dan banyak pertimbangan. Inilah mengapa aku perlu teman yang tegas dan bisa menuntunku. Teman hidup, eh. Teman apapun juga sih.

Siapa yang mengenalku lalu menilaiku sebagai orang yang suka sekali membaca dan jatuh hati pada buku? kenyataannya tidak begitu. Aku sama dengan kalian yang masih suka ngantuk ketika baca buku. Aku sama seperti kalian yang lebih betah scroll media sosial daripada bolak-balik lembaran buku. Lebih tepat jika dikatakan, aku tertarik pada sebuah cerita. Baik mendengarkan, bercerita, maupun membaca. Di masa kecil, ayah sering membelikanku buku cerita, dari situlah kebiasaan betah bacaku mulai. Pada masa kecilku pun belum ada podcast dan youtube, hwehe. Jadi, selain tayangan kartun di TV ya buku cerita hiburanku. 

Oh iya, aku mudah kagum dengan orang-orang yang aku kenal; mudah tertarik dengan orang-orang pemberi inspirasi, bahkan untuk hal sederhana, sesederhana murah senyum terhadap sesama. Apalagi dengan orang-orang yang bisa memberikan pengaruh kepada sekitar. Pokoknya, ketika aku sudah kagum dengan seseorang, siapapun dia, pasti dia memberi kesan tersendiri di mataku.

Apalagi ya. Wkwk. Aku penikmat keseimbangan. Maksudnya gini, aku tidak bisa benar-benar tidak melakukan apapun, tapi aku juga bakal tertekan jika terlalu banyak urusan di kepala. Ribet pokoknya, sifat labilku juga muncul karena ini--karena semua ingin seimbang. Hahaha. Kadangkala aku gemas dengan sikap labilku yang lumayan sulit terkontrol.

Udah ah, makin panjang bakal makin dalam. 

Jelasnya aku adalah Rosi yang ingin terus bertumbuh menuju utuh dan berfungsi dengan caraku. Terima kasih untukmu yang telah sudi mengenalku. Sampai jumpa pada ceritaku berikutnya. 

#IniUntukKita – Literasi dan Keseimbangan Gaya Hidup Finansial Milenial | Membaca Masyarakat

            

Berapa kali kalian nongkrong dalam sebulan? 
btw, aku baru sadar kalau pas nongkrong jarang foto. wkwk.
sumber: koleksi pribadi

            Jika pada tulisan sebelumnya adalah fiksi mini, maka aku akan menyapa kembali rubrik lama dalam blog ini—membaca masyarakat. Assalamualaikum, teman-teman. Pandemi sudah berapa bulan ya? Jangan lupa tetap jaga kebersihan dan kesehatan. Pakai masker dan cuci tangan sudah menjadi kewajiban di era normalitas baru kan. Jangan abai ya!

            Membaca masyarakat episode ke tiga, aku akan mengajak kalian berdiskusi tentang cerita finansial versi aku. Sebelumnya, aku mau tahu dong, kapan pertama kali kalian “memikirkan” keuangan? Ketika kalian kuliah tahun pertama? Atau ketika sudah bekerja? Kalau aku, ketika aku kehabisan uang. Hehehe. Jadi, ada suatu masa di mana jatah uang bulanan habis sebelum waktunya. Nah, jika di bulan-bulan sebelumnya aku cukup percaya diri dengan gaya hidupku, keadaan tiba-tiba berubah. Saat itu income yang aku dapatkan lebih banyak dari bulan-bulan sebelumnya. Selain uang bulanan dari ayah, aku juga dapat pemasukan dari hadiah lomba dan gaji freelance yang seharusnya sih bisa ditabung. Eh, kok malah hanyut terbawa arus gaya hidup. Hmm. Long short story, aku mulai berpikir, sebenarnya seberapa konsumtif kah aku? Lalu kalian bertanya, gak punya simpanan, Ros? Punya! Pada akhirnya aku menggunakan dana simpananku yang waktu itu masih di bawah pengawasan ayah. Tapi bukan itu pembahasan kita. Kita akan berdiskusi mengenai bagaimana menyeimbangkan gaya hidup dengan kemampuan finansial.

           Kalian pernah gak sih pasang nominal rupiah untuk jatah ngopi atau budget nongkrong kalian dalam sepekan? Kalau pernah, berapa persen kepatuhan kalian? Kalau belum sila dicoba. Honestly, aku paling payah mengatur keuangan. Sejak zaman sekolah, ibu sudah mengajariku untuk mengelola uang saku, jadi jatah bulanan gitu, tapi banyak hal yang membuatku gagal menahan agar uang tersebut terpakai secara bijak. Sebentar, alur ceritaku muter-muter ya. Begini, menyambung dari cerita sebelumnya, aku sadar bahwa aku memiliki masalah finansial yang jika tidak segera ditangani akan menjadi krisis.

            Akhirnya aku mulai baca artikel dan nonton video YouTube tentang pengelolaan finansial. Dasarnya manusia suka ngobrol ya, aku kurang puas jika belum bertukar pendapat dengan manusia lain. Aku bertemu dengan teman dari beberapa kampus, beragam jurusan, dan dengan kondisi finansial yang berbeda; yang sekiranya bisa membantu masalahku agar tidak sampai pada situasi krisis. Dari beberapa diskusi yang insightful, aku menyimpulkan bahwa financial planning adalah kunci untuk memperbaiki kondisi finansial kita, sekaligus menyadarkan kita tentang standar gaya hidup.

            Beberapa hari lalu, aku membuat jajak pendapat di akun instagram @rosidaoktaviaa. Jajak pendapat tersebut aku gunakan untuk memetakan seberapa penting tulisan ini untuk pembaca. Aku mencoba fokus pada kesediaan dan aktivitas keuangan mereka selama masa pandemi. Dari hasil jajak pendapat dengan kurang lebih 72 responden, 53% diantaranya masih memiliki tabungan; namun, dengan persentase yang sama, mereka kesulitan menabung di masa pandemi; 79% diantaranya mengaku kesulitan dalam mengatur keuangan; dan 70% belum menemukan kecocokan dalam mengelola keuangan. Dari hasil jajak pendapat itulah aku memutuskan untuk membagikan sedikit ilmu yang sedang aku terapkan guna meningkatkan keterampilan literasi finansial, terlebih di masa penuh ketidakpastian ini. Berikut perencanaan keuangan yang harus kalian coba.

1. Menentukan Tujuan Keuangan

Di setiap perencanaan pasti ada tujuan yang diharapkan. Nah, kalian harus menyusun financial goals yang achievable dan accountable. Terlihat mudah tapi rumit, guys. Panduannya menggunakan konsep SMART (specific, measurable, attainable, realistic, time based). Misal, aku ingin liburan ke Lombok di akhir tahun. Jadi, aku harus menyiapkan dana berapa rupiah dalam waktu berapa lama dan digunakan  untuk apa saja. Kebutuhan uang saku, akomodasi, tiket masuk, dokumentasi, dll. Makin detail makin bagus. Contoh lain, kalian ingin nikah tiga tahun lagi. Nah, kalian harus tahu nih, pernikahan impian kalian itu seperti apa dengan budget berapa. Catat detailnya, masalah pasangan yang belum ada, dipikir dan dicari sambil nabung. Cakep.

2. Financial Check Up

Untuk mencapai financial goal impian, kalian harus tahu, sadar, dan mengakui kondisi keuangan kalian. Nah, kalian harus mencatat rutin aset, tabungan, hutang, dll. Kalian juga harus punya personal cash flow yang spesifik dan akurat. Berapa pemasukan kalian dan untuk apa saja sih uang itu. Contohnya Rosi lampirkan pada gambar ya. 

Rekam keuangan Bulan Februari yang cukup kompleks. Kalian juga bisa pakai catatan digital lewat gawai,
aku juga punya catatan digital,  tapi tetap lebih nyaman mencatat ulang di buku, hehehe.
sumber: koleksi pribadi

Oh iya, cara ini butuh latihan, konsisten, dan kedisiplinan yang tinggi agar kalian bisa mencapai financial goals impian. Dengan menerapkan sikap jujur dan disiplin mencatat keuangan harian, kalian jadi dipermudah dalam menentukan jalan keluar permasalahan keuangan. 

Oke, aku akan jelasin sedikit tentang monthly budget overview aku. Aku mengadaptasi rasio versi Li Ka Shing, seorang pebisnis asal Hongkong yang membagi keuangannya untuk biaya hidup, sosialisasi, pengembangan diri, liburan, dan investasi. Namun, tetap aku sesuaikan dengan kondisiku. Rasionya, 4-3-2-1. Empat untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk nongkrong; tiga untuk bayar kewajiban; dua untuk uang darurat; satu untuk tabungan dan sedekah wajib. Nah, mengapa alokasi tabungan dan sedekah hanya satu atau 10% dari pemasukan. Kuncinya adalah konsisten. 

Setelah jelas pengeluaran wajib aku berapa, aku jadi tahu saldo uang bulanan aku. Nah lalu uang tersebut aku pisah-pisah dan dimasukan dalam amplop yang sudah kubagi. Untuk uang darurat dan tabungan aku taruh di ATM, agar tidak menggoda. Apabila di tengah bulan aku dapat income dadakan, biasanya aku bagi untuk uang darurat, kebutuhan sehari-hari, dan sedekah. Pokoknya jangan lupa sedekah, walau sedikit nominalnya. 

Aku juga masih suka nabung recehan di celengan doraemonku wkwk.
sumber: koleksi pribadi
 

Apakah teman-teman sudah menerapkan cara di atas? Jika sudah semoga konsisten dan segera mencapai keadaan finansial yang sehat. Jika belum, segera praktikan. Kalian tahu gak, dengan menelanjangi finansial semacam ini, kita jadi tahu, sebenarnya gaya hidup yang cocok untuk kita itu seperti apa, dan bagaimana langkah memperbaiki kondisi tersebut. Baru deh, jika keadaan keuangan kalian sekiranya stabil, coba belajar investasi. Nanti aku cerita setelah aku belajar dari yang lebih ahli ya. Mungkin pembaca blog ini ada yang sudah paham tentang investasi? boleh tuh belajar bersama. Lebih dini kita akrab dengan literasi finansial, lebih cepat pula kita mencapai kemerdekaan finansial kita. Kalian tahu gak, menurut studi Alvara Indonesia: Gen Z dan Millenial Report 2019, bahwa millenial hanya mampu mengalokasikan uangnya untuk ditabung kurang dari 10%, padahal milenial yang sehat secara finansial memiliki dampak yang signifikan terhadap pembangunan Indonesia berkelanjutan. 

Oh iya, standar gaya hidup kalian adalah milik kalian. You only live once, jadi jangan sampai menyesal karena tidak melek finansial sedari muda hanya karena ngikutin gaya penghuni semesta yang gak bisa disamaratakan. 

Coba dong, kalian bagi juga cerita dan tips finansial kalian di kolom komentar.

#IniUntukKita #MerahPutihCreatorCompetition #djpprkemenkeu


Bingung.


Aku  menuliskan ini ketika aku menunggu azan magrib. Ketika dalam pikiranku dibingungkan dengan satu pertanyaan tentang sebuah alasan. Apakah semua hal terjadi karena sebuah sebab? Jika iya, mengapa aku sekarang bingung

Kalian pasti sepakat bahwa kerja semesta mengejutkan. Tidak gampang ditebak, bahkan tentang sesuatu yang dekat dengan kita secara personal. Apakah kalian pernah mengira akan membaca tulisan ini di lima menit yang lalu? Tentu saja tidak.
Lalu, apa alasan kalian memilih mengunjungi kanal ini melalui pranala yang dibagikan penulis? Penasaran? Atau hanya iseng?

Seakan semua perlu alasan. Bahkan untuk hal-hal abstrak yang enggan disentuh otak. Sebagian orang sepakat, bahwa alasan manusia pergi adalah tidak suka. Tapi, apakah itu sebuah kepastian? Tentu saja sebagian manusia lagi akan bicara tentang takdir. Jawaban yang membosankan. Semua manusia bertuhan juga tahu jika Tuhan kita adalah pemilik abadi kita. Atau mungkin sebagian lagi berkata melepaskan, rela. Itu pasti kata pujangga.

Kalian pasti pernah ada dalam kondisi di mana kalian menemukan sebuah alasan atas sebuah peristiwa, tapi tidak yakin jika itu alasannya. Ada alasan kedua, ketiga, hingga keseratus yang mengikuti. Bahkan ada pula yang jawabannya tidak tahu. Kalau belum pernah, kalian hilang sadar.

Sekarang begini,
jawab aku.
Apakah kamu nyaman denganku? Apa alasanmu nyaman atau bisa jadi tidak nyaman dengan kehadiranku?
Apakah jawaban kalian adalah sebuah kebenaran? Perspektif.

Aku tidak menyalahkan pernyataan bahwa segala hal dalam hidup terjadi karena punya alasan. Tetapi, sepakatkah kalian bahwa hidup punya pesan. Bisa baik atau sebaliknya.
Banyak hal tak konkrit yang ternyata tak perlu penjelasan mengapa itu semua terjadi. Di luar sebab Tuhan. 

Mengapa tak memilih fokus terhadap pesan apa yang dibawa oleh sebuah peristiwa, bukan mencari-cari alasan mengapa manusia bisa sampai pada titik tersebut. 

"Karena tidak semua peristiwa punya kalimat yang padu untuk dijelaskan."




Jadi, apa kalian nyaman dengan kehadiranku?

Episode 3 | Bertaut

Akhirnya aku melanjutkan episode ini. Kalau aku harus jujur, bukan karena tidak ada waktu melainkan aku sempat lupa jika ada yang belum tuntas. Maafkan aku.


Aku mulai dari mana ya. Hehe.


Setelah aku menceritakan tindakan aneh beserta dosa-dosanya, aku menemukan satu rasa yang lagi-lagi sulit dijelaskan. Tidak manis, tapi mengejutkan. Bukan bukan, bukan cinta.

Seakan semesta mendukung bahwa aku perlu kamu untuk melanjutkan cerita. Sejak saat aku menyadari kesalahanku, banyak hal-hal kecil saling bertaut satu dengan lainnya. Aku tidak ingin bercerita detail. Jelasnya, semakin aku ingin menyelesaikan Kafka, semakin muncul babak-babak baru yang terlintas di pikiranku. Aku masih ingat jelas, setiap hariku selalu ada paling sedikit satu menit tentang kamu. Menyiksa namun nikmat. 

Sudah kukatakan dari awal. Ini rumit. Hal-hal yang sedih tak selamanya membuat menangis. Begitu pula, momen bahagia tak melulu penuh suka. Ini momen perih yang mengundang tawa.

Kamu tidak jahat. Tidak pula baik.
Aku masih ingat betul saat beberapa waktu Tuhan mempertemukan kita tanpa sengaja. Lalu saling menyapa. Mengobrol. Dan akhirnya kau digoda teman-temanmu. Aku menuliskan ini dengan tersenyum.
Kau berusaha menjadi dewasa di hadapanku. Menjadi lelaki paling melindungi. Melindungi siapapun tak berarti aku. Intinya kamu begitu menarik di mataku, padahal kata teman-teman kita, kau teramat jail dan aneh. 
"Bagaimana bisa aku selesai dengan tokoh Kafka jika Tuhan saja masih menciptakan alurmu dan alurku saling bertaut?"

Sampai detik ini. 

Angin Akhir Bulan Mei



Sebelum Juni menyambut ada kacau yang hampir tiap dini hari menghalangiku terpejam. Ada resah yang sulit kuterjemah. Bahkan ada ranting-ranting pikiran yang sukar aku rapikan. 

Sebelum Juni tiba, ada dia yang datang dan ada dia yang menghilang. Ada perubahan. Ada perbedaan. Ada kejutan. Ada penantian. Dan semua hadir tidak tanpa pesan.
Mungkin saja, bukan hanya aku yang merasa. Bahwa semua terasa berbeda dan tidak seperti biasa.

Ibuku meracik teh untukku sore ini. Tubuhku sedang kurang sehat. Ayahku? Memberi makan burung dan ayam peliharaannya. Ia nampak bosan akibat keadaan, tapi selalu pandai mencari kesibukan. Sedang adikku, menikmati permainan bahasa dalam gawainya yang kutunjukkan semalam.

Rasanya sudah lama tak keluar seharian. Rasanya sudah lama tak berjumpa kawan. Rasanya sudah lama tak bertukar cerita di kedai kota. Rasanya rasanya rasanya, itu saja. Rasanya semua manusia sama saja. Selalu tidak cukup dengan kondisinya, selalu merasa ada yang kurang, bahkan lupa, mustahil menjadi sempurna. Akupun. 

Banyak hal menjadi abstrak di pikiranku. Lalu aku membantahnya, "oh ini namanya rindu." Tapi ternyata bukan, lebih dari rindu. Lalu aku membantahnya lagi, "oh ini namanya cemas." Aku mencoba tenang. Tetap saja, "oh ini namanya sepi." Bukan juga, seharusnya aku tak masalah jika merasa sepi. "Oh ini namanya kurang bersyukur."
Tidak tidak, aku tidak akan mengolok-ngolok diriku yang jauh dari kata taat di sini. Aku tak akan bicara agama. Aku bicara penerimaan. Urusan agama, biar tersimpam dalam kalbu masing-masing. 

Seperti yang telah kutulis di awal, banyak cemas kehilangan nama, banyak ragu yang tak bertuan. Semua seakan kelabu, lupa bahwa aku punya warna usang yang masih pekat lilinnya. Lupa bahwa detik pada jam akan terus berjalan walau kau diam bertopang dagu. Lupa, lupa bahwa manusia punya naskah yang telah ditulis Tuhan.

Penerimaan menjadi topik penutup Mei ini. Berteman hujan yang iramanya tanpa ragu pada balik jendela kamarku.
Aku teringat dengan obrolanku bersama seorang penulis kala itu,
"Kalau suka bilang saja, apa yang salah? Toh cuma mengatakan. Kalau tidak nyaman, bilang jangan menghilang. Ada hal-hal pasti yang tidak selesai dengan diam."

Lalu aku coba menjahit benang-benang 
yang aku punya dari banyak ingatan, dari banyak pertemuan. Tuhan menitipkanku pada semesta-Nya. Dari segala macam bentuk penolakan, ada satu penolakan yang harus diubah menjadi penerimaan. Kuasa Tuhan.

Aku meneguk tegukan terakhir teh racikan Ibu dan menutup kekhawatiran dengan kesempatan-kesempatan tak terduga.

Ditulis untuk Kamu...



Apakah waktu kelak akan mempertemukan kita kembali? Atau mempertemukan kita dengan momen terkasih, Ramadan? 
Pasti; menjadi jawaban sekaligus doa yang diharap akan nyata.
Saling memaafkan menjadi budaya tak terganti saat idul fitri. Tahun ini masih sama, dan akan terus sama hingga nanti mati. Semoga. Tunggu. Ternyata tak sepenuhnya sama. Ada yang berbeda. Apa? Semua manusia bumi tahu dimana perbedaannya.

Untuk kamu yang berusaha menguatkan diri dari jarak. Tidak ada yang sia-sia. Dunia bisa terasa semakin getir jika terus menyalahkan keadaan. Memang ini kenyataannya, dipasung kerinduan.

Oh iya, pada hal-hal yang belum jua termaafkan. Khususnya pada diri sendiri. Minta maaflah kedirimu dulu. Beri ia apresiasi paling dalam dan paling murni, sebelum orang lain. Kau sadar tidak, bahwa pertarungan paling sengit terjadi pada perasaan dan pikiran masing-masing dari kita?

Selamat berlebaran dari rumah saja.
Kelak kita akan berjumpa, menyapa, dan bercerita dengan keluarga, saudara, dan kerabat tercinta.
Untuk sekarang berjumpa dalam jaringan dulu ya.
Kalau malu, bisa lewat doa. Hehe.

Ditulis bukan untuk menambah kerinduan, tetapi memangkas kesedihan.
Kamu tidak sendiri.

Kediri, dalam gema takbir. 
Menjelang 1 Syawal 1441 H🖤

Kepada Zaman Sebelum Sarjana

Tahun ke-5, dan aku semakin gila sebab kau masih membuang waktu untuk membaca tulisanku.
Ketika kita menjelang renta, dan cucu sedang berlari ke sana ke mari mengelilingimu, aku ingin tahu:
masihkah kau punya waktu?

Jika iya, ingin kusiapkan kacamata baca yang terbuat dari sepasang mataku.
Tiga puluh lima tahun lebih tiga hari lagi, semoga, kita tertawa mengenang kisah yang rindu-dendam di usia muda.

Siang,
di tempatf para penikmat Wi-Fi kampus, biarkan mereka terus membicarakan kesendirianku, atau bangku kosong di depanku, juga semua benda-benda di mejaku; sebotol air mineral, laptop, gawai, buku, juga kantong usang alat-alat kuliah.

Apa pedulinya aku.
Mereka, entah mengenalku atau belum;

tidak pernah melihat aku menyimpan sesuatu dalam buku yang kertasnya terlipat satu halaman;
namamu

Mereka tentu melewatkan apa saja yang hidup di laptop, gawai, juga buku sarana aku bekerja.
Mereka tak mengerti tentang cerita yang tak lebih dari sampah yang kubiarkan di sana sebab aku pemalas.
tak apa.
Mereka tak perlu tahu bahwa tempat ini adalah tempat dimana kau dan kawanmu biasa lalui.

Sungguh aku tak peduli pada anggapan bahwa kesendirian adalah kesedihan dan malapetaka. Ku  ingin membayangkan masa tua kita saja, yang kelak akan tertawa mengenang kebodohan diam dalam diri.

Pada zaman sebelum sarjana, pernah ada kita; dua makhluk Tuhan yang punya seribu alasan untuk saling meninggalkan, namun  memilih satu alasan untuk saling mengagumi.
Semakin dalam semakin diam.

Episode 2 | Kamu dan Candu yang Ragu

Mari aku lanjutkan. Sebelumnya aku telah menjelaskan bahwa kau adalah jelma tokoh fiksi yang menemaniku setiap malam hingga pagi. Kata demi kata aku rangkai hingga alur yang diinginkan tercipta begitu saja. Ya. Aku terlalu menikmatimu melalui tokoh fiksi tersebut. Hingga aku lupa, bahwa aku belum benar-benar mengenalmu. Seperti yang telah aku katakan di episode 1, aku sama sekali tidak tahu siapa dirimu. Ketertarikanku padamu terjadi begitu saja. 

Sesuai janjiku, aku akan menjelaskan betapa besar rasa bersalahku terhadapmu. Bayangkan saja, bertahun-tahun aku ada dalam bayang-bayang Kafka, tokoh fiksi andalanku. Sebenarnya aku bahagia menjadi detektif Mas untuk menghidupi Kafka. Namun, kegundahanku muncul saat aku memikirkan bagaimana bila apa yang aku terka selama ini salah. Bagaimana bila kau mengetahui ini semua, lalu kau tidak terima dengan apa yang aku rangkai lewat imajinasi. Sebab, layaknya manusia biasa; yang dilihat baik oleh satu manusia belum tentu baik oleh manusia satunya lagi. Mas simpulkan sendiri betapa bersalahnya aku, bahkan hingga episode 2 ini aku tulis. 

Aku tidak punya alasan yang konkrit mengapa aku menginginkan Mas, entah sebagai teman, sumber inspirasi, atau lebih dari itu. Kukira aku perlu mengenalmu benar-benar untuk menjelaskan segala yang kabur selama ini. Suatu saat nanti. Ya, suatu saat nanti. Entah sebagai apakah aku dan Mas, aku harap mengenalmu adalah salah satu rencana baik dari Tuhan. 

Sampai jumpa di episode 3. Asal kau tahu, mencari-carimu adalah candu tanpa rasa yang jelas.

Tubuh dan Pandangan | Catatan dalam Gawai

Hai, ini tulisan yang Rosi temuin di catatan dalam gawai, jadi Rosi minta maaf diawal jika banyak singkatan ya hehe. Tidak ada alasan konkrit kenapa curhatan ini Rosi bagikan. Hanya saja Rosi merasa perlu meletakkannya dalam rak blog agar suatu ketika jika Rosi marah dengan diri sendiri karena ini dan itu serta lupa bersyukur, Rosi bisa diingetin sama tulisan sendiri. Bonusnya, jadi pengingat kalian juga. InsyaAllah.


Rosi sempat bertemu dengan teman lama yang kebetulan punya masalah dengan self acceptance. Rosi sedih, di zaman yang sedang berusaha menjauhi konservatif ini masih saja ada manusia yang insecure secara fisik terhadap bentuk tubuhnya. Wajar ingin tampil cantik, tapi jika ditelisik lebih jauh, 

APASIH STANDAR KECANTIKAN?

Kala itu temanku bertanya padaku, apakah kamu tidak pernah mendapatkan shaming terhadap bentuk tubuhmu? SERING! Dulu aku sering banget nangis karena dikira gak pernah makan, Allah.. for you guys yg pernah ngomong gini, kalian sama saja menghina ayah ibuku yang banting tulang untuk kasih makan aku ,thinks smart please!
Dulu aku sering maksain makan berlebih, minum susu full creamy dan suplemen nafsu makan. Entahlah, padahal aku pecinta sayur, buah, dan gak pernah pilih-pilih makanan, kecuali durian ya wkwk.

Lama-lama aku capek. Ada yg lebih penting diurus dari sekadar menangisi pemberian Tuhan. Aku sadar, bahwa nikmat sehat jauh lebih patut dijadikan alasan bersyukur. Be grateful. For everything you have been given, be grateful.

Aku gak tau pasti gimana cara menasehati orang, tapi yang jelas aku tahu ada istilah body positivity. Jd, aku coba menjelaskan, semoga diterima. Begini, letakkan standar kecantikanmu pada kebutuhan diri, bukan perspektif manusia. Logikanya, manusia itu jumlahnya banyak pol, jika kamu menuruti perspektif manusia tidak akan ada habisnya. Kurang putih, kurang langsing, kurang sexy, kurang apalah itu. Selalu kurang. 

TUBUHMU BUKAN HANYA UNTUK KONSUMSI PUBLIK.

Lalu, "menerima diri bukan berarti tidak berupaya memperbaiki diri." Ayo fokusnya diubah. Bukan untuk menyakiti diri, tapi untuk menyehatkan diri. Satu hal yang aku syukuri dari sifat, hmm sifat burukku "asal tidak menyakiti orang lain aku bodoamat!" Teman-temanku cantik, setiap aku jalan sama mereka gak jarang mereka digoda, dan aku dikacangin. It's not wrong for me! Sepertinya aku hanya ingin digoda oleh suamiku kelak, hehehe.

Menjadi objek perhatian dan pengakuan kecantikan memang kepuasan tersendiri. Rosi paham dan sadar, Karena Rosi juga perempuan biasa. Tapiii... Balik lagi, semua yang diterima baik2 dan dijaga baik2 insyaAllah juga dampaknya baik2. Pokoknya baik2, titik.

Tak masalah kamu hitam asal bersih, kamu kurus/gemuk asal sehat, kamu pendek asal cekatan, kamu gak ideal asal kamu cerdas. Semua ada sisi cantiknya masing-masing. Kalau kamu pengen seperti orang lain, lalu apa gunanya Tuhan menciptakan umatnya beragam? Honestly, aku masih sedih denger curhatan teman aku. 

Give your best, then u will be the best version of you! Love yourself♥️

Selembar Puisi untuk 'Na'

Sedikit cerita, sehari sebelum tulisan ini diunggah aku menerima beberapa pesan dari murid yang pernah belajar denganku. Isi pesannya hampir sama, meminta bantuan membuat puisi tentang Corona Virus. Aku bukan penulis puisi handal; yang sekali dapat kumpulan kata langsung bisa merangkainya menjadi kalimat indah. Kepalaku harus pening dulu baru bisa jadi puisi. Payah memang.

Salah satu pesan dari mereka

Menulis biasa saja susah, apalagi menulis indah. Akhirnya aku memutuskan untuk meminta mereka membuat narasi dari isi puisi yang mereka inginkan. Setelah itu, aku memberi beberapa larik kunci yang harus mereka lengkapi sendiri. Ada yang langsung oke, adapula yang masih bernegosiasi. Katanya, "Bu bingung, saya gak puitis."

Setelah kelas menulis puisi dadakan tersebut, tiba-
tiba pukul 23.28 WIB aku membuka catatan di gawaiku dan mulai merangkai kata yang memenuhi otak, semua tentang corona. Iya, saking beragamnya kalimat puitis yang aku ciptakan tadi, ternyata itu memancing otakku untuk mengeluarkan kawan lainnya dari kalimat puitis sebelumnya. Dan kini pukul 00.48 WIB aku mengunggah tulisan sok puitisku di blog. Ah, akhirnya aku berani mengisi blog ini lagi. Sekadar informasi, sudah setahun aku galau dan tidak percaya diri mengisi blog ini, aku tak bisa menjelaskan alasannya. Yang jelas, karena ke-insecure-an tersebut membuat timbunan omong kosongku di laptop sia-sia. Kapan-kapan deh mulai nge-blog lagi perlahan. 



Kepadamu yang Kupanggil, Na

Bahagiakah kau melihat gundah dunia, Na?
Kini segalanya terasa berbeda
Resah merana gulana
Tak ada lagi suka cita dan foya-foya dunia

Na, kini semua berusaha menertawai sunyi
Menghibur hati upaya menghilangkan sepi
Masing-masing dari kami masih mengantongi mimpi
Yang berharap diraih suatu hari nanti

Asal kau tahu Na, kini segalanya berteman ketakutan
Sesak pun menghampiri raga bergantian
Seperti menelan pecahan cita-cita
Yang meminta disatukan dengan kekuatan bersama

Getir rasanya, Na

Tapi, di balik kekacauan adaptasi kini
Yakin ada maksud baik dari pemilik bumi

Ada cinta
Ada kasih yang tumpah ruah
Walau perlu kesakitan dulu untuk menerjemah

Kasihan, sang sepi terus kumaki-maki
Padahal jika dipikir kembali
Sunyi kini menyadarkan hati
Selalu ada Tuhan dalam diri
Bodoh sekali aku ini

Na, mengenalmu adalah duka yang tak seharusnya kutangisi
Bertemu denganmu adalah pekat nasehat 
yang memikat dalam dan erat-erat
Tuhan itu dekat
Pada perintah untuk lekas bertaubat

Terakhir Na,
Kau harus tahu
Penghuni bumi yang egois di masa kemarin, 
berangsur membaik 'tuk memenangkan bumi 'kembali' 


*Ucapan terima kasih untuk kalian, murid-muridku yang ajaib. Berkat kalian, blogku tersentuh kembali.


Episode 1 | Ini Tentangmu

SEBUAH PERKENALAN

Episode adalah catatan usangku yang terhitung sejak aku mengagumi salah satu ciptaan Tuhan. Aku memilih mengarsipkannya di blog ini, agar suatu ketika ada ingatan yang terawat secara baik dan rapi tanpa perlu disesali bahkan sia-sia untuk ditangisi. Semoga segala maksud baik diterima baik pula oleh bumi dan segala keegoisan penghuninya. Mungkin hanya akan ada 5 episode jika setelah ini kau memilih pergi dan merelakanku menutup catatan ini dengan jabat tangan dan ucapan semangat untukku yang sedang menuntaskan tugas akhir masa kuliah malam itu. Tidak mengapa, itu sudah cukup damai bagi masing-masing dari diri. Entah kalau hati.

Assalamualakum wr.wb
Semoga pemilik pesan ini senantiasa dilindungi Tuhannya.
Mari kita panggil pemilik pesan ini “Mas” agar terlihat manis dan tersamarkan.
Pertama aku ingin mengucap maaf jika saat aku menulis catatan ini, aku menuliskannya bukan atas nama cinta. Tapi percayalah, aku menuliskan ini semua dengan penuh cinta. Segala cerita yang pernah ada, dari awal bertemu hingga berpisah lalu bertemu lagi semua tidak luput dari hal-hal mengejutkan dari Tuhan. Sebelum aku sadar bahwa aku mengagumi sosok sederhana yang tidak sanggup melihat orang lain payah. Saat pertemuan pertama kala itu, aku benar-benar tidak mengetahui identitasmu. Bahkan, untuk sekadar namamu. Apa yang kau lakukan saat itu juga cukup sederhana dan bisa dilakukan oleh semua laki-laki di dunia ini, namun mengapa mampu berkesan padaku? Momen yang tepat, iya. Entah apa yang menjadi alasannya, hal tersebut terlihat ajaib di mataku. Aku tahu ini berlebihan, tapi sudut pandangku menilai itu sama sekali tidak berlebihan. 
Lagi, kala itu aku sedang senang-senangnya menulis cerpen. Hingga suatu ketika aku menciptakan tokoh yang begitu mirip denganmu. Imajinasiku terhadapmu memang sulit diceritakan di sini, dan aku yakin kamu tidak akan sanggup memikirkanya. Yang jelas aku berusaha menghidupi tokoh tersebut dengan penuh kesabaran, kekuatan, dan ke-sotoy-anku tentangmu. Ambisiku terlampau besar untuk membuat tokoh bernama Kafka ini menjadi kembaranmu.
Entah menurutmu ini sebuah kesalahan atau bukan. Namun, seharusnya aku meminta izin dulu padamu. Setelah tahu akibatnya sekarang, aku sadar bahwa aku  tidak berhak akan ini semua. Segala sesuatu yang terlanjur terjadi jangan begitu gegabah disesali. Kalau ada pilihan untuk mensyukuri kenapa harus menangisi. Sial, nyatanya aku tak setegar itu, tetap saja aku menangis dan menutupi mukaku dengan bantal semalaman hingga aku lenyap terbawa kegundahan. 
Kau tahu apa yang membuat aku sebersalah ini? 
Mari temui aku di catatan Episode 2. Aku akan membuat Mas terkejut di sana.
Salam.