Angin Akhir Bulan Mei



Sebelum Juni menyambut ada kacau yang hampir tiap dini hari menghalangiku terpejam. Ada resah yang sulit kuterjemah. Bahkan ada ranting-ranting pikiran yang sukar aku rapikan. 

Sebelum Juni tiba, ada dia yang datang dan ada dia yang menghilang. Ada perubahan. Ada perbedaan. Ada kejutan. Ada penantian. Dan semua hadir tidak tanpa pesan.
Mungkin saja, bukan hanya aku yang merasa. Bahwa semua terasa berbeda dan tidak seperti biasa.

Ibuku meracik teh untukku sore ini. Tubuhku sedang kurang sehat. Ayahku? Memberi makan burung dan ayam peliharaannya. Ia nampak bosan akibat keadaan, tapi selalu pandai mencari kesibukan. Sedang adikku, menikmati permainan bahasa dalam gawainya yang kutunjukkan semalam.

Rasanya sudah lama tak keluar seharian. Rasanya sudah lama tak berjumpa kawan. Rasanya sudah lama tak bertukar cerita di kedai kota. Rasanya rasanya rasanya, itu saja. Rasanya semua manusia sama saja. Selalu tidak cukup dengan kondisinya, selalu merasa ada yang kurang, bahkan lupa, mustahil menjadi sempurna. Akupun. 

Banyak hal menjadi abstrak di pikiranku. Lalu aku membantahnya, "oh ini namanya rindu." Tapi ternyata bukan, lebih dari rindu. Lalu aku membantahnya lagi, "oh ini namanya cemas." Aku mencoba tenang. Tetap saja, "oh ini namanya sepi." Bukan juga, seharusnya aku tak masalah jika merasa sepi. "Oh ini namanya kurang bersyukur."
Tidak tidak, aku tidak akan mengolok-ngolok diriku yang jauh dari kata taat di sini. Aku tak akan bicara agama. Aku bicara penerimaan. Urusan agama, biar tersimpam dalam kalbu masing-masing. 

Seperti yang telah kutulis di awal, banyak cemas kehilangan nama, banyak ragu yang tak bertuan. Semua seakan kelabu, lupa bahwa aku punya warna usang yang masih pekat lilinnya. Lupa bahwa detik pada jam akan terus berjalan walau kau diam bertopang dagu. Lupa, lupa bahwa manusia punya naskah yang telah ditulis Tuhan.

Penerimaan menjadi topik penutup Mei ini. Berteman hujan yang iramanya tanpa ragu pada balik jendela kamarku.
Aku teringat dengan obrolanku bersama seorang penulis kala itu,
"Kalau suka bilang saja, apa yang salah? Toh cuma mengatakan. Kalau tidak nyaman, bilang jangan menghilang. Ada hal-hal pasti yang tidak selesai dengan diam."

Lalu aku coba menjahit benang-benang 
yang aku punya dari banyak ingatan, dari banyak pertemuan. Tuhan menitipkanku pada semesta-Nya. Dari segala macam bentuk penolakan, ada satu penolakan yang harus diubah menjadi penerimaan. Kuasa Tuhan.

Aku meneguk tegukan terakhir teh racikan Ibu dan menutup kekhawatiran dengan kesempatan-kesempatan tak terduga.

Komentar