SEXUAL HARASSMENT:
APAKAH
WAJAR?
![]() |
sumber: kickandydirtist |
Assalamualaikum, netizen dimanapun kalian berada! FYI
saat ini aku sedang mager nulis. Lho tapi kok ng-publish artikel sih? Ya gapapa, bukankah mager nulis tidak berarti
berhenti berkarya? Wkwk, aku mager nulis yang basisnya ilmiah bahkan aku juga
mager nulis cerpen. Pokoknya aku sedang mager, gitu. Nah, lalu iseng buka-buka thread twitter. Ada sebuah thread yang menarik perhatianku, tentang
sexual harassment yang menimpa public figure di Indonesia. Pasti teman-teman mengetahui viral news ini kan?
Menurut postingan dari akun
Instagram salah satu public figure Indonesia,
dia mengalami pelecehan seksual melalui DM Instagram. Korban angkat bicara
tentang apa yang telah menimpanya. Then, para
warganet juga ikut-ikutan untuk angkat bicara. Banyak sekali variasi speak up mereka. Ada yang menanggapi
kasusnya, orangnya, latar belakang cerita hidupnya, dan banyak lagi varian
sudut pandang mereka. Berikut aku contohkan variasi komentar mereka.
Pertama, mental inlander. Komentar sejenis ini menganggap wajar kasus
pelecehan seksual karena latar belakang dari pelakunya. Example: pelaku
dianggap bule yang tidak mengerti budaya Indonesia dan budaya dari negara asal
pelaku bertolak belakang dengan budaya Indonesia.
Nah, kedua. Harassment = Compliment. Ini komentar jahat dari warganet, banyak
sekali komentar semacam ini. Contohnya,
“harusnya bersyukur dong masih ada yang mau nglecehin, muka pas-pas’an gitu. ”
Astaghfirullah, ini komentar yang menurut aku tidak bisa diterima akal, dan
perasaan. Masih ada gitu yang nyuruh bersyukur atas kasus pelecehan?
Lanjut ketiga, komentar tentang
latar belakang korban. Ini aku rangkum jadi beberapa tipe komentar yang bisa
dikategorikan senada. Tipe a kecil, menyalahkan profesi dan penampilan korban.
Contohnya, “Pakaian itu dibenerin dulu, biar dihormatin,” ,“yaiyalah penyanyi,
artis, terkenal, menurutku sih wajar dapat DM begitu,” hihihi. Reaksi cepat
sebagian warga Indonesia mengenai kasus pelecehan seksual. Tipe b kecil yaitu
salfok atau salah fokus. Dari sekian banyak komentar yang aku baca, ternyata
ada juga yang salfok dengan grammar inggris yang digunakan untuk nulis caption.
Jujur, aku bingung kenapa harus itu yang dikomentari instead of pelecehan seksualnya. Warganet memang lucu. Tipe c
kecil, victim shaming. Komentar
semacam ini tujuannya untuk menjatuhkan mental korban, dan banyak sekali
komentar yang tidak valid.
Keempat, komentar warganet yang
masih menganggap biasa kasus ini. Ada yang menganggap kasus ini wajar, belum
sampai pada titik dipegang-pegang atau oh
my God, naudzubillah. Pokoknya kasus pelecehan seksual merupakan kasus yang
ringan di Indonesia. Bahkan banyak juga yang mengomentari aksi publish ini
sebagai aksi yang lebay, kurang kerjaan dll. Aku khawatir bakal ada komentar, “Ih
lebay, baru juga digrape-grepe, diperkosa, dan yang gila-gila lainnya.”
Alhamdulillah-nya, sebanyak jempol ini scroll masih ada juga komentar yang
memberi impact baik kepada korban.
Oke, itu merupakan beberapa variasi
komentar warganet atas kasus pelecehan. Membaca komentar-komentar warganet
tersebut secara tidak langsung kita dapat menyimpulkan miniatur mentalitas
warga Indonesia dalam menyikapi kasus pelecehan seksual. Tidak sedikit yang
berkata bahwa itu hal yang wajar dan tindakan korban yang mencoba berbagi
ceritanya adalah lebay, hanya mencari sensasi.
In
my humble opinion, tindakan public figure
tersebut untuk membagikan apa yang menimpanya merupakan hal yang benar. Karena
apa? Kita tidak akan bisa belajar dari kesalahan jika kita tidak tahu apa yang
pernah terjadi. Dalam kata lain, preventif itu penting. 93% korban kasus ini
memilih bungkam dan tidak ingin melaporkan perlakuan yang mereka terima.
Bermacam-macam alasan yang mereka ungkapkan, intinya mereka takut dan malu. Lalu,
apakah harus untuk memojokkan 7% korban yang berani untuk mengungkap peristiwa
hina tersebut? Atau ingin jika kasus pelecehan ini tembus hingga pemerkosaan
dan pembunuhan? Naudzubillah...
Mengingat kasus Ita Martadinata, Mei
1998 yang saya baca dari nasional.tempo. Saat itu kasus tersebut masih berjalan
secara massif, brutal, traumatic. Ia merupakan korban sexual harassment yang berani angkat bicara, namun akhirnya
terbunuh secara sadis. Hal tersebutkan yang membuat para korban bungkam, dan
menambah kengerian mereka? Sudah terlecehkan, dianiaya, dibunuh. Kejam dan
bukan aksi pendramatisiran.
Terburuk sekarang ini adalah represi
di kalangan masyarakat tentang pelecehan seksual. “Represi apa? Opini aja.
Paling cuma cari sensasi,” Atau... merendahkan, “belum ada apa-apanya itu!
Hanya melalui DM, belum sampai memasukkan beling kan?” inilah kebanyakan suara
masyarakat Indonesia yang menganggap semua ringan. Masalah itu represi atau
tindak pelecehan sebenarnya subyektif. Kalau aku pribadi, ketika di jalan lalu
ada orang asing yang nyletuk, “Hai cewek, boleh kenalan gak? Cantik banget sih,
sini!” Itu sudah aku anggap sebagai pelecehan. Walau mungkin ada perempuan juga
yang menganggap itu wajar, kodratnya lelaki.
Menurut artikel-artikel yang aku
baca. Tidak mudah menaikkan derajat perempuan hingga suara mereka berhak
didengar seperti sekarang ini. Boleh dibilang ini juga usaha dari kaum
perempuan sendiri. Eh... kemudian mereka ditendang jauh-jauh- ironisnya dengan
sesama perempuan. Contohnya sudah tadi di atas. Hehe. Aku tidak akan ngomongin
atas nama feminisme. Berbahaya. Mungkin cukup mengatasnamakan persoalan ini
sebagai humanism. Actually, para
lelaki juga mengalami kasus ini di saat-saat tertentu.
Terpenting dari yang penting-penting
lainnya adalah bagaimana kita sebagai masyarakat Indonesia yang sekarang sudah
hidup di zaman serba canggih untuk memanfaatkan kecanggihan yang telah
tersedia. Bukan hanya berkomentar tanpa isi saja, tetapi juga berkomentar yang
menimbulkan dampak positif untuk diri masing-masing dan orang sekitar. Biasakan
bijak dalam menanggapi masalah.
Oh ya, sedikit saran saja, jika
kalian memiliki teman, saudara atau apalah itu yang tertimpa kasus layaknya sexual harassment tolong jangan
diacuhkan. Dengarkan kasus mereka, dan beri solusi awal jika kalian takut untuk
bertindak. Kuatkan mereka, yang paling penting jangan berbuat victim shamming. Laporkan ke pihak
berwajib agar tidak semakin merajalela. Semoga bermanfaat, terima kasih. Ehh...
ternyata mager juga akan selesai satu artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar