Selembar Puisi untuk 'Na'

Sedikit cerita, sehari sebelum tulisan ini diunggah aku menerima beberapa pesan dari murid yang pernah belajar denganku. Isi pesannya hampir sama, meminta bantuan membuat puisi tentang Corona Virus. Aku bukan penulis puisi handal; yang sekali dapat kumpulan kata langsung bisa merangkainya menjadi kalimat indah. Kepalaku harus pening dulu baru bisa jadi puisi. Payah memang.

Salah satu pesan dari mereka

Menulis biasa saja susah, apalagi menulis indah. Akhirnya aku memutuskan untuk meminta mereka membuat narasi dari isi puisi yang mereka inginkan. Setelah itu, aku memberi beberapa larik kunci yang harus mereka lengkapi sendiri. Ada yang langsung oke, adapula yang masih bernegosiasi. Katanya, "Bu bingung, saya gak puitis."

Setelah kelas menulis puisi dadakan tersebut, tiba-
tiba pukul 23.28 WIB aku membuka catatan di gawaiku dan mulai merangkai kata yang memenuhi otak, semua tentang corona. Iya, saking beragamnya kalimat puitis yang aku ciptakan tadi, ternyata itu memancing otakku untuk mengeluarkan kawan lainnya dari kalimat puitis sebelumnya. Dan kini pukul 00.48 WIB aku mengunggah tulisan sok puitisku di blog. Ah, akhirnya aku berani mengisi blog ini lagi. Sekadar informasi, sudah setahun aku galau dan tidak percaya diri mengisi blog ini, aku tak bisa menjelaskan alasannya. Yang jelas, karena ke-insecure-an tersebut membuat timbunan omong kosongku di laptop sia-sia. Kapan-kapan deh mulai nge-blog lagi perlahan. 



Kepadamu yang Kupanggil, Na

Bahagiakah kau melihat gundah dunia, Na?
Kini segalanya terasa berbeda
Resah merana gulana
Tak ada lagi suka cita dan foya-foya dunia

Na, kini semua berusaha menertawai sunyi
Menghibur hati upaya menghilangkan sepi
Masing-masing dari kami masih mengantongi mimpi
Yang berharap diraih suatu hari nanti

Asal kau tahu Na, kini segalanya berteman ketakutan
Sesak pun menghampiri raga bergantian
Seperti menelan pecahan cita-cita
Yang meminta disatukan dengan kekuatan bersama

Getir rasanya, Na

Tapi, di balik kekacauan adaptasi kini
Yakin ada maksud baik dari pemilik bumi

Ada cinta
Ada kasih yang tumpah ruah
Walau perlu kesakitan dulu untuk menerjemah

Kasihan, sang sepi terus kumaki-maki
Padahal jika dipikir kembali
Sunyi kini menyadarkan hati
Selalu ada Tuhan dalam diri
Bodoh sekali aku ini

Na, mengenalmu adalah duka yang tak seharusnya kutangisi
Bertemu denganmu adalah pekat nasehat 
yang memikat dalam dan erat-erat
Tuhan itu dekat
Pada perintah untuk lekas bertaubat

Terakhir Na,
Kau harus tahu
Penghuni bumi yang egois di masa kemarin, 
berangsur membaik 'tuk memenangkan bumi 'kembali' 


*Ucapan terima kasih untuk kalian, murid-muridku yang ajaib. Berkat kalian, blogku tersentuh kembali.


Komentar

  1. Na, ku harap bisa berpisah denganmu
    Disini bukan tempatmu
    Beri kami sejenak waktu
    Tuk memeluk rindu bersama Ramadhanku
    Karena ku takut bila ini Ramadhan terakhirku
    Ku harap tidak begitu

    BalasHapus
  2. Kuharap juga begitu. Berpisah dengan Na, adalah impian terdekat.

    BalasHapus

Posting Komentar