JEMARI TUHAN
(MASIH
ADA CINTA DI SANA)
Oleh: Rosida Eka Oktaviani Pakartining
Madu
“Kubisikkan doaku di celah-celah ruang hidupku, Tuhanku satu….”
Pernah terlintas suatu
pemikiran bodoh dari diriku. Akulah insan paling merugi sepanjang masa. Aku merasa
Tuhan tidak adil. Hingga saat aku menulis kisah ini pun aku masih berpikir
Tuhan tidak menyayangi semua hamba-Nya, termasuk aku. Mungkin hanya orang kaya,
sempurna fisik, dan sehat mentalah yang dicintai oleh yang kata mereka pencipta
alam semesta. Bodoh.
Kenangan buruk yang sukses membuat hati,
pikiran hingga mimpiku hancur itu susah lenyap. Mungkin merekalah pencipta alam
semesta yang dengan bebasnya menari-nari di tanah milik sendiri. Tidak lagi
Tuhan. Atau bisa jadi merekalah Tuhan. Bukan. Tuhan itu Esa. Baiklah berarti
salah satu dari mereka. Bisa yang paling bermateri, paling tampan, atau yang
paling garang. Terpenting sekarang aku benci mereka. Entah mereka Tuhan atau
bukan.
Ketika
masa dasarku selesai. Aku melanjutkan sekolah di sekolah khusus penyandang
disabilitas. Mungkin aku lebih cocok di sana. Aku mulai hari-hariku dengan
semangat baru, walau jika hati kecil ini dapat bicara dan kalian dapat
mendengar, rintihannya dapat menjadi tetes-tetes rintikan.
Masih dalam suasana semester
baru, seorang siswi dengan perawakan sederhana, terkesan normal dan tidak cacat
apa-apa masuk ke kelas. Reno si penyuka wanita pun terlihat bahagia kala itu.
Entah bagaimana rasa bahagia itu dapat tergambar dalam senyumannya. Untung saja
bakat menarinya tidak keluar. Kalau saja ia nekat menari, mungkin ia jauh patah
hati lagi karena harus ditinggal kabur oleh siswi baru itu. Aku sih tidak
tertarik. Belum terlintas kala itu tentang gadis. Apa itu gadis? Untuk jatuh
hati saja aku tidak sempat.
“ Dua ditambah dua berapa?”
“Tiga,”
“Du..a ditam..bah du..a
sama dengan?”
“Em..pat”
“Jika dua puluh ribu
ditambah dua puluh ribu, berapa?
Navika, gadis ceria
berhati ibu itu dengan sabar mengajariku berhitung. Tidak ada sedikit pun
kemarahan yang tergambar. Ternyata Tuhan mengirimkan satu malaikat yang berhati
putih, yang luar biasa tulusnya. Atau mungkin gadis itu Tuhan? Dari hati aku
mengadu, aku kagum dengan gadis bernama Navika. Ia bagai cerminan dari ibuku.
Sepi. Hanya ada aku termangu
di bawah pohon. Segelas minuman kemasan berada dalam genggamanku. Aku menatap
lurus, jauh ke depan. Tidak ada pandangan lain selain ingatanku tentang
kenangan kelamku. Mungkin bagi orang lain sikap traumaku keterlaluan. Tapi
bagiku, bagi penyandang disabilitas, tidak ada yang lebih menyakitkan ketimbang
mendapat celoteh sara, dan tindakan tidak pantas dari orang-orang yang aku
sebut pencipta semesta tadi.
Dari kejauhan aku
melihat seseorang berjalan ke arahku. Navika menghampiriku dengan dua kotak
makan di tangannya. Dengan senyum khas gadis Jogja itu ia duduk bersila di
sampingku. Menyodorkan salah satu kotak makannya.
“ Kau hanya diam? Apa
kamu tidak lapar?” ia menyapa sekaligus bertanya.
“ Tidak.” Jujur saja
hanya itu jawabanku.
“ Mari makan. Aku sudah
menyiapkan satu kotak makanan untukmu.” Ia berucap dengan lembut, dan satu lagi
senyumannya tak pernah tertinggal.
Aku tidak bisa menolak
untuk kedua kalinya. Karena saat itu pula aku juga merasa perlu asupan. Kami
hening sejenak. Aku fokus ke makananku, namun kulirik ia lebih fokus ke diriku.
Ada sesuatu yang sepertinya hendak ia katakan. Mungkin ia sedang mencari waktu
yang tepat, dan celah yang pas untuk bicara. Aku melanjutkan makanku.
“Mengapa kamu tidak
melanjutkan sekolah yang selaras dengan sekolahmu dulu?” tiba-tiba gadis itu
membuka mulutnya.
“Tidak, aku tidak ingin
bertemu dengan Tuhan yang jahat,”
“Apa kamu mempunyai
kisah kelam di masa lalu?”
“Tentu. Aku benci masa
lalu! Aku benci mereka yang berlaku seperti Tuhan! Coba katakan padaku, Navika!
Apakah mereka Tuhan?” emosiku mulai tak terkendalikan.
“Mengapa kau begitu
membenci mereka? Apa mereka sempat berlaku buruk dengamu?”
“Aku merasa mereka
adalah Tuhan, dan aku hanyalah manusia yang bisa mereka perlakukan sesuka
mereka. Aku selalu dikucilkan, dicela, bahkan diperlakukan seperti hewan. Aku
benci dengan mereka?”
“Apa kamu tidak ingin
memaafkan mereka?”
“Tidak akan.”
“Begini, mereka bukan
Tuhan. Mereka sama dengan kamu, sama dengan aku. Hanya saja mereka sempat
khilaf dan bisa saja mereka tidak sengaja mengucilkan kamu. Tuhan itu Cuma
satu. Tuhan itu sayang dengan hamba-Nya. Dan kamu harus paham itu” jelas Navika
dengan kebijaksanaannya. Masih dengan senyumannya.
“Tidak. Tuhan itu
penguasa alam semesta. Dan aku lihat mereka seperti penguasa di sekolah. Aku tidak ingin memaafkan mereka,” aku masih
tersedu-sedu.
“Baiklah. Jika kamu
tidak ingin memaafkan mereka. Tapi pahamilah Tuhan hanya satu, dan itu bukan
mereka. Sudah jangan berkecil hati, tersenyumlah.” Ujarnya begitu menenangkan
kalbu, selalu dibawanya senyum tipis dengan pipi berlesung. Begitu manis.
Aku tidak ingin
melanjutkan makanku. Aku masih meramu ucapan-ucapan Navika yang sulit aku
cerna. Ada maksud apa ia berbicara seperti itu. Baiklah. Aku butuh waktu untuk
memahami itu. Sampai saat ini pun aku menilai Tuhan tidak adil. Titik.
“Ada yang salah Mirza?
Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, habiskan makananmu,” kesekian kalinya,
senyumannya tak pernah tertinggal.
“Mengapa kamu mau
berteman dengan aku?” tanyaku.
“Hahaha… jelas, Tuhan mengajariku untuk berteman dengan perbedaan,
Mirza.”
“Maksudnya?” aku
bingung.
“Jika kita berteman
mencari persamaan sama saja yang hitam tetap hitam. Putih akan tetap putih.
Tidak akan ada warna lain. Bukankah Mirza menyukai pelangi?” aku mengangguk.
Navika melanjutkan
ucapannya.
“Nah, kalau begitu
bertemanlah dengan semua orang, Mirza. Jangan takut karena sebuah lukisan yang
terlihat indah, ada warna-warna yang saling mengindahkan, tapi juga ada yang
memburukkan. Itulah kehidupan. Tidak semua akan cantik, Mirza paham?”
Aku diam sejenak mencoba
mencari celah ruang dalam otak ku agar menemukan sedikit harta karun. Sebuah
jawaban. Jujur aku susah mencerna uraian panjang kata-kata Navika. Baiklah. Aku
mengangguk mengerti. Walau saja tidak sepenuhnya, tetapi pesannya sudah
tertangkap.
“Sekarang Mirza mau kan
berteman dengan semua orang? Mirza ingin tahu Tuhan yang sebenarnya bukan? “
Aku mengangguk kesekian kalinya.
“Percaya pada Navika,
bertemanlah dengan yang lainnya, bermain dengan mereka. Insyaallah Mirza tahu
Tuhan Mirza itu seperti apa baiknya,”
“Mirza akan mencoba,”
Navika tersenyum dan
mengangkat jempolnya ke arahku. Aku telah berjanji padanya untuk bermain
bersama dengan mereka. Terkadang jatuh, namun sedikit pengarahan aku bangkit lagi. Kini Tuhan tak hanya
penguasa tapi pencipta skenario kehidupan. Mereka mampu memnguasaiku, tapi
Tuhanku lebih sanggup menguasai mereka. Senandung lagu mengalun perlahan,
mendayu.
“Kenangan
ini mengharu biru, menyatu dalam syahdu rindu. Biarkan jiwa terbang menembus
liar angkasa mencari sekawanan tanpa batas ruang dan waktu….”
****
Astaga rossss. Cantek sangat lahh cerita kau orang ni.
BalasHapusTerimakasih yun. Penulisnya lebih cantik loh 😂
BalasHapus