Mengapa Punya Hobi Membandingkan Diri dengan Orang Lain


"Kok dia bisa ya lulus duluan? Padahal aku lebih rajin bimbingan."
"Dia bisa jadi volunteer internasional, berarti aku juga harus bisa. Kan bahasa Inggrisku tidak kalah oke dengannya."
"Pencapaiannya banyak banget ya, gak kayak aku yang kentang gini."
"Pengen deh jadi putih seperti mbak itu."

Dan banyak ungkapan-ungkapan lain yang pada intinya adalah membandingkan diri. Bahan rujukan untuk membuat tulisan ini sudah ada sejak aku sadar, mengapa aku sering menetapkan standar diri berdasarkan apa yang aku lihat. Beberapa waktu termotivasi, beberapa waktu lagi iri, sisanya overthinking. Mantap gak tuh. Nah, tulisan ini akan membahas tentang, sebenarnya perlu gak sih membandingkan diri dengan orang lain?

Dikutip dari salah satu jurnal American Psycological Association tahun 2010, intinya membandingkan diri adalah menjadikan (kondisi dan posisi) orang lain sebagai sumber informasi untuk menentukan kondisi dan posisi kita. Dalam hal apa? Kemampuan (how we are doing) dan opini atau pendapat (how we should think, feel, and behave). Nah, aktivitas membandingkan diri jika sudah mendalam tidak hanya melibatkan hal yang lagi dibandingin aja, tetapi juga memiliki dimensi yang berkaitan. Misalnya,  membandingkan kemampuan presentasi, kita tidak hanya melihat hasilnya saja oh presentasinya oke, seluruh audience tertuju padanya. Tidak, tetapi juga memperhatikan hal-hal yang berkaitan seperti usia, durasi berlatih, mentor, pengalaman, pola, dll. Kalian sering gak sadar kan jika aktivitas membandingkan diri kalian sudah sejauh itu?

Motif dari social comparison ini beragam, ada yang digunakan sebagai evaluasi diri, pengembangan diri, memperkuat diri atau menciptakan rasa yang lebih baik, dan ajang menentukan identitas sosial. Nah, mengapa sih proses membandingkan diri itu ada? Biasanya kita membandingkan diri dengan orang yang memiliki unsur kesamaan dengan kita. Dari jenis-jenis social comparison, paling populer dan paling banyak dialami adalah Upward Comparison a.k.a membandingkan diri pada orang yang kita anggap lebih mumpuni/baik/pantas dari kita. Konsekuensinya ada dua, termotivasi atau iri. Nah loh. 

Membandingkan diri semakin mudah dilakukan seseorang dengan adanya media sosial. Kalau kata Emiliats, kapasitas individu untuk memilih target perbandingan terbatas pada pilihan yang tersedia. Nah, tadi kan sudah dikatakan bahwa kesamaan menjadi faktor kuat dalam membandingkan diri.  Jadi, besar potensi media sosial dalam menunjang aktivitas membandingkan diri. Bayangin deh, banyak hal yang secara sukarela disebarluaskan dan tanpa disadari kita mengonsumsi bermacam-macam hal yang sama (usia, gender, pendidikan, hobi, dan mungkin lebih spesifik dari itu). Efek membandingkan diri ini bergantung pada dua faktor, kondisi pelaku dan bagaimana pelaku mengelolanya.  

Sampai sini rasanya, meminta agar diri berhenti melakukan banding-membandingkan sedikit tidak realistis. Sebab, aktivitas tersebut merupakan respon alami ketika kita menemui seseorang yang memiliki kesamaan mencapai pencapaian yang lebih. Akan lebih realistis, jika mencoba melakukan hal-hal yang disarankan oleh Emilia berikut.

1. Tanyakan fungsi atau motif dari upaya kamu membandingkan diri. Kalau tidak menemukan motifnya, urungkan!
2. Data insight yang didapatkan dari aktivitas membandingkan diri. Bisa berdampak gak? bantu kamu mencapai motif yang dimaksud gak? Kalau nggak, itu toxic. Hentikan!
3. Bangun support system yang kuat dan mengerti. Support system ini akan bantu kamu untuk mengingatkan kamu kalau secara tidak sadar mulai bandingin diri dan menyiksa self-esteem.

Sadar atau tidak, membandingkan diri pasti terjadi. Justru tidak realistis ketika melarang diri untuk tidak membandingkan diri atau sampai berhenti total. Sebab semesta bukan hanya kamu penghuninya. Setelah membaca tulisan ini, aku harap kita semua bisa lebih paham kondisi dan tahu apakah membandingkan diri yang kamu lakukan itu memberi keutungan untukmu. Apalagi tidak semua dimensi ketersinambungan atau related dimension kita ketahui. 

Jadi, yuk lebih berani mengontrol, menolak, dan bilang enggak kalau memang meracuni. Sampai jumpa ditulisan berikutnya.

Komentar