Kepada Zaman Sebelum Sarjana

Tahun ke-5, dan aku semakin gila sebab kau masih membuang waktu untuk membaca tulisanku.
Ketika kita menjelang renta, dan cucu sedang berlari ke sana ke mari mengelilingimu, aku ingin tahu:
masihkah kau punya waktu?

Jika iya, ingin kusiapkan kacamata baca yang terbuat dari sepasang mataku.
Tiga puluh lima tahun lebih tiga hari lagi, semoga, kita tertawa mengenang kisah yang rindu-dendam di usia muda.

Siang,
di tempatf para penikmat Wi-Fi kampus, biarkan mereka terus membicarakan kesendirianku, atau bangku kosong di depanku, juga semua benda-benda di mejaku; sebotol air mineral, laptop, gawai, buku, juga kantong usang alat-alat kuliah.

Apa pedulinya aku.
Mereka, entah mengenalku atau belum;

tidak pernah melihat aku menyimpan sesuatu dalam buku yang kertasnya terlipat satu halaman;
namamu

Mereka tentu melewatkan apa saja yang hidup di laptop, gawai, juga buku sarana aku bekerja.
Mereka tak mengerti tentang cerita yang tak lebih dari sampah yang kubiarkan di sana sebab aku pemalas.
tak apa.
Mereka tak perlu tahu bahwa tempat ini adalah tempat dimana kau dan kawanmu biasa lalui.

Sungguh aku tak peduli pada anggapan bahwa kesendirian adalah kesedihan dan malapetaka. Ku  ingin membayangkan masa tua kita saja, yang kelak akan tertawa mengenang kebodohan diam dalam diri.

Pada zaman sebelum sarjana, pernah ada kita; dua makhluk Tuhan yang punya seribu alasan untuk saling meninggalkan, namun  memilih satu alasan untuk saling mengagumi.
Semakin dalam semakin diam.

Komentar