Jatuh Cinta Sampai Nanti Berulang Kali


Aku sudah beberapa kali mengatakan, "Aru akan terus kuceritakan, entah sampai kapan. Justru inginku abadi sampai aku hilang nanti." 
Mungkin itu level jatuh cinta yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Atau memang jatuh cinta harusnya seperti ini?

Bukan berarti tidak pernah kubayangkan, merantau di daerah 3T pernah menjadi cita-citaku dulu. Aku benar-benar ingin mengeksplor kondisi terluar dari Indonesia. Pastinya dengan menjadi guru ya. Dan tercapai dengan begitu menakjubkan di pesisir Maluku paling selatan. Syukurku paling tinggi pada Tuhan pencipta semesta yang teramat baik pada hambaNya. 

Mula-mula aku takut. Aku mempertanyakan seribu kemungkinan buruk yang terjadi padaku di Maluku. Mulai dari tidak doyan makan sampai adaptasi lingkungan. Dan ya, semuanya terjadi. Semua hal buruk yang menyelimuti bilik ketakutanku adalah kenyataan. Haha, baiknya semesta, aku selalu mendapat penawarnya.


Jatuh cinta pertama. Selalu kusebut-sebut di setiap pertanyaan massa, "yang paling bahagia apa?" apalagi kalau bukan keluarga piara. Di Marlasi, desa ajaib yang menyadarkanku bahwa hidup di balik keterbatasan tidak lantas membuat kita terbatas-- aku mempunyai mama dan kakak piara. Mama Papasoka dan Cece Fani Djabumir. Bersama mereka, aku merasa aman dan disayang. Bentuk sayangnya belum pernah kurasakan sebelumnya. Mama dan Cece menganggapku anak tapi begitu santun dengan tetap memanggilku "Ibu". Cece seumuran ibuku tapi dengannya aku merasakan menjadi bungsu setelah selama ini selalu menjadi sulung. Bayangkan betapa gembiranya aku. Mungkin Mama sesekali jengkel denganku yang sering mengurung diri di kamar; memilih membaca buku sendirian. Namun respons Mama begitu pengertian. Beliau menyadari bahwa energi sosial anak piaranya ini terbatas. Eh, bukan berarti aku tidak pernah kena omelan Mama. Aku pernah menangis karena Mama sering memarahiku yang susah makan, sedikit makan, bahkan tidak mau makan. Sudah rahasia umum jika aku makan ketika aku ingat saja. Lantas, apa Mama terus memarahiku? Tidak. Mama paham bagaimana harusnya menghadapiku yang sulit makan. Dengan selalu mengajakku turut serta makan bersama Mama. "Ibu Rosi, mari makan dulu!" Ya Tuhan, aku rindu suara itu.

Jatuh cinta kedua. 

Bahkan Aku Mewanti-wanti Diriku.

Judulnya sedikit merisaukan ya, Saudara. 

Disclaimer, tulisan ini adalah bentuk penguraian pemikiranku terhadap makhluk Tuhan bernama Lelaki.


Kata mereka lelaki adalah manusia logika

Pikirannya dipenuhi realita dibanding perempuan yang banyak air mata

Kata mereka lelaki mengurangi basa-basi

Timbang perempuan yang sering tapi

Tapi tapi mengapa lelaki satuku ini terkadang membingungkan?

Apakah dia jelmaan perempuan

Ngawur!

Dia hanya memprioritaskan

Dan kamu bukan...

Tahu kan apa yang menjadi lanjutan

Sering atau kurasa selalu membuatku kebingungan

Kadang diratukan kadang pula sangat dianggap teman

Kadang aku begitu bahagia dan menabur benih harapan

Terkadang pula aku menepuk pundakku sendiri untuk menguburnya dalam-dalam

Pernah suatu hari dia mengirimkan pesan

Isinya, keseriusan yang semu 

Tidak main-main katanya

Selalu sama menurutnya

Tapi yang kuterima, tetap rasa penasaran

Iya, aku penasaran yang teramat

Ingin kudengar dari mulutnya

Iya atau tidak

Tapi kapan?

Apa aku harus menunggu antrean?

Apakah menungguku dapat terjamin kelak?

Apakah menungguku adalah sebuah kebanggaan?

Apakah menungguku tidak menyakitkan siapa-siapa?

Penasaranku butuh jawaban

Itu saja

Apapun redaksionalnya, kurasa kedewasaanku sudah cukup menanggung

Segeralah... apapun itu

Tuhan tahu, sangat tahu,

Penantianku akan jawaban

belum kukemas ya.

Produktivitas yang Dipertanyakan


Sudah pernah mendengar istilah produktivitas palsu? atau istilah asiknya fake productivity. Yang penasaran dan ingin evaluasi pola produktivitas, baca sampai akhir ya.

Assalamualaikum, teman-teman. Pekan empat aku akan mencoba mengulas terkait istilah produktif yang akhir-akhir ini sering disuarakan ke telingaku. Aku pernah ada di fase memuja produktivitas. Dari zaman kuliah, obsesiku untuk terus 'bergerak' cukup tinggi, pokoknya harus ada kegiatan. Satu-satunya alasan dari obsesi tersebut adalah menghindari pemikiran-pemikiran jahat ketika nggak ngapa-ngapain. Sebab setiap aku nganggur, aku selalu meresahkan sisi ketidakbergunaanku hingga muncul sikap rendah diri. Dan itu menyiksa pikiran juga mental. Pertanyaannya, apakah banyak kegiatan hingga tidak punya waktu luang adalah wujud produktivitas? Tentu tidak selalu.

Aku suka rebahan, memang nikmat gila. Namun apakah goler-goler dengan gulir-gulir media sosial dikatakan produktif? Dan menata ulang kamar di hari kerja juga wujud produktif? Let me show a productivity definition.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, produktif adalah adjektiva yang mampu menghasilkan serta mendatangkan manfaat, hasil yang menguntungkan. Sedang menurut Peter F. Drucker, seorang ekolog sosial yang memiliki definisi produktivitas paling jenius menurutku, mengatakan bahwa produktivitas adalah keseimbangan antara seluruh faktor-faktor yang akan memberi keluaran yang banyak dengan pengeluaran yang hemat. Dari sini kuncinya adalah sangkil atau efisien.

Do you have your own definitions for concepts or do you use whatever is in dictionary and people's opinions? Aku suka memiliki definisi sendiri berdasarkan dengan tujuan dan pengalamanku. Ini membantuku untuk tidak latah dengan standar manusia lain.

Sebelum membahas kata kunci efisien, mari munculkan terlebih dahulu kata kunci relevansi. Banyak masalah timbul karena lupa atau bahkan belum menentukan tujuan. Terobsesi sibuk padahal yang dikerjakan tidak sesuai target. Misalnya membalas semua pesan tanpa memperhatikan kepentingan, mengikuti semua diskusi, merapikan data berulang kali, menonton YouTube hingga lupa waktu, apa lagi? Apabila kegiatan-kegiatan yang baru saja kusebutkan relevan dengan tujuan kalian, itu produktif bagi kalian. Katakanlah kalian mengikuti semua diskusi dengan tujuan menambah relasi dan berharap menemukan antusias terhadap hal baru. Lagi-lagi semua mindset ya.

Sekarang, seharusnya kita lebih sadar seberapa penting suatu tujuan itu. Nah, setelah relevan, baru masuk ke kata kunci selanjutnya. Efisien; sinonim sangkil. Bagaimana mewujudkan produktivitas yang sangkil. Jika arti sebenarnya dari sangkil adalah berdaya guna dan sesuai, kurasa terlihat kaku, coba dihubungkan dengan eksperimen dari Charles Eisenstein yang mengubah pertanyaan, how can we do things in the most efficient way? ke how can we do things in the most beautiful way? Kalau aku coba interpretasikan, how do I make sure my work is something I am proud of? Something that has quality? Jadi, tidak sekadar banyak dan tuntas, tetapi memiliki nilai. Gak buat kita stres, menyesal, dan juga tidak membuat kita biasa saja. Aku tahu, bukan hal mudah untuk menemukan kegiatan yang tepat sesuai definisi produktivitas yang relevan dan efisien. Jalan keluarnya, coba dulu. Sangkil hadir ketika apa yang dikerjakan tepat sasaran tanpa melukai sekelilingnya. Gitu kira-kira.

Bahaya dari fake productivity ini tidak hanya memengaruhi aktivitas saja, namun juga berdampak pada personalitas. Apalagi jika terus menerus bersembunyi di balik produktivitas palsu. Berikut beberapa pintu keluarnya:

Be mindful with your time. Tidak semua harus kamu hadiri. Pilih kegiatan yang sesuai kebutuhanmu dan membutuhkanmu. Dampak besar akan lebih terlihat dari situ. Seperti kata Imam Syafi'i Rahimullah, "waktu ibarat pedang."

Track progress spesifically. Tiga jam menghadap laptop bukan produktif jika tujuanmu tidak tercapai. Pasang tujuan dan catat perkembanganmu secara objektif dan khusus. Misalnya, dalam 2 jam menulis 500 kata.

Habit selection. Sudah umum sekali ungkapan, "hal kecil berpotensi berdampak besar." Karenanya, coba lakukan diskoneksi pada hal-hal buruk yang mengganggu produktivitas.

Menjadi tidak produktif itu bahaya, namun mengira apa yang kita lakukan itu produktif padahal tidak, akan sia-sia.

Hope this article of productivity resonates with you. And by all means, if it doesn’t, create your own! See you!




Sajak Kemelekan

LITERASI USIA 

Pada kelopak waktu yang disepakati Tuhan

Aku ingin bercerita

/

Usiaku menuju bukit balik kata yang tengah menumpuk di hampar keseharian

Ia ingin berjarak dari hiruk pikuk kesibukan yang begitu pekat

Rapat oleh mimpi pada bilik-bilik kekhawatiran

Jalanan kota ramah dengan gemuruh asap keangkuhan

Para pejalan berlarian mengunduh ego yang makin akrab bagi tubuh

Sementara, lamat-lamat hadir suara lalu mendekat

Semakin nyaring

Mengiang ledakan

Mengetuk balik jendela kesendirian

Berulang mengirim prasangka yang tak jemu berkata:

Bacalah, pikirlah, tulis!

 

Demikian tajam

Mencari sela-sela pori

Mengikuti aliran darah

Tiba menyapa jantung

Mengelus manja otak

Mengusap hati yang resah

Hingga meraba nyawa

Tak henti menghampiri ceruk-ceruk tubuhku yang senyap

Ada getar diri yang menularkan desir cinta pertama dan berharap selamanya

Terlintas jejakan hening yang teguh terjaga dan bimbang terlelap

Merawat kedalaman semesta

Menumbuh keabadian percaya

 

Bulir air mataku melukis kesiaan usia

Tak segera usai bercanda pada gelimang kefanaan

Semacam diulang

Sebuah permainan yang mencatat kerugian dalam batin perjalanan

Luruhan gerimis menerjang ruas tahun dan batas iklim

Semacam menjadi saksi

Kian dekat dilimbur ribuan getun bermukim

 

Nyaring suara yang terlalu itu kembali hadir

Dengan sinopsis jentera waktu

Sekuel amanah rindu

Sangat mungkin memercikkan awal haru

Suaranya semakin menyahut menggelegar

Mendesakku agar aku tersadar

Sebelum maut merebut, maka:

Bacalah, pikirlah, tulis!


*Pernah dimuat dalam antologi nasional.

Antologi Karya Jurnalistik dan Sedikit Ceritanya

                 Halo pengunjung blogku. Unggahan artikel kali ini akan berisi tentang karya-karya tulisku yang pernah dimuat di media online dan cetak; khusus untuk artikel jurnalistik. Sebelumnya aku mau cerita sedikit nih tentang kegemaranku di dunia jurnalistik. Sejak SMP aku sudah tertarik dengan kepenyiaran teman-teman. Namun terhalang, sebab aku pernah menjadi Rosi yang pemalu sebelum akhirnya menjadi Rosi yang sekarang. Masih pemalu juga sih, tapi lumayan berkurang lah. Berkat media sosial yang sebenarnya bisa jadi tempat berlatih menghadapi orang secara virtual.

                Saat SMA aku tergabung menjadi tim jurnalis utama di sekolahku, sekaligus menjadi delegasi sekolah ke komunitas jurnalis di kotaku. Namanya Kojurda (Komunitas Jurnalis Muda) Kediri Raya. Di sana aku diajari banyak hal tentang media dan produksinya. Aku dan timku pernah kunjungan studi di salah satu media ternama di Indonesia, Jawa Pos. Kami belajar bagaimana berita tersebut didapatkan wartawan, ditulis, disunting editor, hingga kami praktek menjual koran di pukul 6 pagi. Seru sekali. Oh iya, aku dulu dapat penghargaan sebagai delegasi dengan konten terbaik lo. Wkwkwk. Tahun 2018 lalu dapat kesempatan main lagi ke sana untuk lomba. Alhamdulillah.

Tidak berhenti di media cetak saja, aku mendapat kesempatan untuk belajar lebih jauh tentang pertelevisian. Oh iya, fyi Kojurda ini di bawah naungan televisi lokal yakni KSTV. Nah saat itu ada satu program yang diadakan khusus untuk anak-anak muda gitu, dan dapatlah kesempatan mengisi di situ. Asik banget. Lanjut-lanjut, aku juga mendapat kesempatan untuk kunjungan studi lagi nih. Kali ini di televisi nasional, ANTV, Trans TV/ 7, dan Metro TV. Kalian ingat program Pesbukers, Show Imah dan Empat Mata (belum ada bukan) tidak? Nah, aku dan kawan-kawan jadi penonton bayaran yang di bayar tour studio. Asik banget. Diizinin main kamera TV, lihat bentuk script, praktek reporter, dan lain-lain.

Dari kisahku itulah, alasan mengapa aku tertarik di jurnalistik kreatif. Namun, karena satu dan lain hal, saat kuliah aku hanya fokus ke kepenulisannya saja. Tertunda mendalami disiplin ilmu itu lebih lanjut. Cukup. Berikut beberapa karya jurnalistik milikku yang telah diterbitkan media.

1. Karya dalam surat kabar




2. Karya dalam media daring







Catatan: akan terus diperbarui.



Sekilas tentang Harga Diri

Hai pembaca. Sebab pekan lalu aku sudah cerita-cerita. Sekarang waktunya bahas sesuatu yang sedikit membutuhkan riset. Tetapi sebelum ke topik utama, yuk sama-sama doain beberapa wilayah di Indonesia yang sedang mengalami musibah. Semoga dikuatkan Tuhan dan lekas pulih dengan keadaan terbaik. Aamiin. Terima kasih.

Kalian pernah gak sih ada di masa, suka banget menyalahkan diri sendiri? Setiap sedikit kesalahan yang dilakukan, even dia tidak terlalu berdampak dan mudah diperbaiki, kalian tetap saja tidak terima dengan kesalahan yang sempat kalian lakukan tersebut. Pasti pernah ya? Atau pura-pura bodo amat padahal hati terdalam berkata, seharusnya aku tidak begini, tidak begitu lalalala.

Itu yang akan kita bahas kali ini. Harga diri atau biasa disebut self-esteem. Kalian mengartikan harga diri itu apa sih? Perasaan cinta terhadap diri sendiri? Atau rasa bangga sebab menjadi diri yang sekarang? Atau sebuah penilaian individual terhadap dirinya sendiri? Banyak sekali pengertian mengenai apa itu self esteem, aku coba kutip salah satu pendapat yang menurutku paling relevan ya. Kata Rosenberg dalam Hughes (2003) harga diri adalah evaluasi positif dan negatif terhadap diri sendiri, dengan kata lain bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri. Nah, harga diri ini bisa berhubungan dengan dimensi yang lebih spesifik, seperti penampilan fisik, kemampuan akademik, kecakapan sosial, dan keterampilan (Sanitioso dkk, 2015)

Lagi-lagi, pandangan terhadap harga diri tiap orang berbeda, begitu pula dengan maknanya. Dalam buku karya Yoon Hong Gyun, ada tiga pilar dasar dalam harga diri, yakni rasa kebermanfaatan, kontrol diri, dan rasa aman. Orang yang merasa dirinya tidak berguna, terbuang, tidak terkontrol, sering terganggu emosi negatif, dan gelisah akan sulit menerima dan mencintai dirinya. Jadi, harga diri dapat pula diartikan sebagai kecintaan seseorang terhadap dirinya sendiri.

Seberapa dalam kamu sudah mencintai dirimu? Ini nih yang sedang naik daun, gerakan mencintai diri sendiri (self love). Tampaknya manusia sekarang banyak yang beranggapan manusia lain sebagai juri kehidupan ya.

Aku menelusuri makna harga diri bukan tanpa sebab. Ada beberapa kejadian yang menyebabkan aku resah dengan diriku akibat cara pandangku terhadap lingkungan. Terlalu sering berkata “seharusnya”. Padahal itu sungguh melelahkan, bukan? Hingga akhirnya aku bertanya pada sosok terdalam dari diriku. Siapa kamu? Apa yang kamu cari? Apa yang kamu beri? Terkesan menodong ya, wkwkwk. Memang, pemulihan harga diri harus dimulai dari diri sendiri.

Nilai. Pernah baca atau dengar kalimat, tanamkan nilai pada dirimu atau orang lain yang akan menanamkannya. Intinya adalah beri kesan siapa dirimu (personality bukan identity) ke orang lain. Memang kita tidak bisa mengontrol hasil akhir perspektif orang, tapi kita bisa membentuknya. Menurutku, memulihkan harga diri atau mencintai diri sendiri bukan berarti memanjakan. Kita tetap harus hidup sebagai “manusia”. Manusia yang menghargai keadaan dan sadar bagaimanapun kita tidak hidup sendirian. Salah satu caranya dengan tidak menyalahkan diri sendiri dan fokus pada pemulihan. Kalau secara spiritual sih ikhlas, sabar, dan tawakal. Udah. Panjang amat ceritanya, Rosi. Agar bersifat praktik gitu.

Jadi, jangan mau kalah dengan keadaan. Mulai perbarui nilai dan memerdekakan diri dengan merasionalkan kenyataan. For your information, kita bisa lo kasih energi pada emosi kita. Syaratnya sadar. Hihihi. Selesai sudah tulisan kali ini. Ada beberapa sub topik yang bisa jadi bahan tulisan selanjutnya yang masih berhubungan. Nanti deh. Bye!



(masih) Bicara Kilas Balik


Masih pekan satu kan sekarang? Kali ini mau cerita aja sih. Santai, tidak mikir dan tidak riset. Sebentar, hai... aku belum salam. 
Assalamualaikum teman-teman. Bertemu lagi dengan pemilik blog yang berkunjung hanya untuk pelarian. Agar perlahan pulih mari menambah koleksi tulisan lagi mulai pekan satu 2021.

Masih saja kilas balik ya, Ros. Iya. Blog-ku belum dapat jatah. Akhir pekan lalu, aku bertanya tentang apa makna 2020 melalui instagram. Jawaban teman2 beragam. Semua menarik dan sudah terespon, baik publik maupun pribadi. Kini saatnya aku bercerita 2020 tentang diriku yang bertumbuh dengan banyak pupuk jenis baru.

2020 aku awali dengan tugas akhir program sarjanaku. Aku tahu jika aku bicara skripsi akan panjang, melelahkan, dan dramatis tapi bakal banyak pesan alam di sana. Jadi, kubuat episode khusus. Nantikan saja kalau berkenan.

Selain itu, awal tahun aku juga hectic dengan program relawan dan program festival buku di Malang Raya. Satu hal yang paling kusyukuri adalah kesempatan bernegosiasi dengan lebih dari 30 pembicara. Bisa dibilang keluar dari zona nyaman ya, sebab aku harus benar-benar membuka diriku seakrab mungkin dengan orang baru; dengan beragam bidang. Bisa juga pengalaman ini menjadi pintu awal aku berani mengenal lebih banyak orang dan lebih banyak lagi disiplin ilmu. Cukup melelahkan tapi penuh cerita.

Belum kelar penelitianku yang kurang satu pertemuan, pandemi tiba. Alhasil, perputaran otak terjadi dengan banyak solusi dadakan. Pasca itu, tagar #dirumahaja menjadi keresahan tersendiri bagiku. Ada hal yang ingin buru-buru kurampungkan tetapi harus diurungkan. Aku belajar menerima keadaan dan mencoba tidak menyalahkan siapa-siapa.

#dirumahaja juga membuatku lebih banyak merenungi diri bersama Tuhan. Asyik, lama tidak kencan begitu dekat dengan Tuhan :( Luaran dari seringnya berbincang dengan diri sendiri dan Tuhan membuatku memahami diriku lebih jauh (lagi).

21 tahun. Aku tidak pernah merasa diriku setertekan saat itu. Aku rasa kegagalanku tiba. Merasa tidak tahu harus melangkah kemana. Yang harusnya selesai belum juga usai. Bisa dibilang gagal terbesarku adalah khawatir terhadap kehendak Allah yang jelas kepastian dan ketepatannya. Mau menangis kalau ingat.

Hingga akhirnya aku membuka diriku lagi untuk bertemu orang baru. Berkenalan, bercerita, belajar, dan bertindak agar tetap waras. Aku tahu tidak hanya aku yang merasa resah atau mungkin kehilangan arah kala itu. Tapi jelasnya, semua bisa lolos uji tahunan. Yeay! Mari berucap syukur bersama. Alhamdulillah.

Aku mulai bekerja lagi, beraktivitas, dan terhubung walau dalam jaringan. Pikiranku masih tentang tugas akhir, tetapi dengan segala usaha yang telah kulakukan tetap saja, aku hanya bisa mengendalikan diriku; bukan orang lain.

Di sela-selanya aku aktif dalam program relawan pendidikan dan literasi, serta magang di start up digital marketing. Kisah dan asah keterampilan baru, khususnya menyajikan konten SEO untuk klien. Aku melakukannya karena aku sering rendah diri jika tidak terhubung dengan apa dan siapa.

Singkat cerita, aku berhasil selesai tanpa menjadi gila yang sebenarnya. Hahaha. 

Sudah. Tamat sampai situ? Belum.

Akhir tahun 2020 aku kembali patah hati sesaat setelah memutuskan jatuh hati. Roller coaster banget ya 2020. Banyak yang hadir tiba-tiba dan mengejutkan. Termasuk aku. Aku juga terkejut atas diriku sendiri.

Kejadian yang menimpaku di bulan 12 adalah kejadian paling cepat sepanjang tahun. Dengan segala prasangka yang telah ditutupi kepercayaan, ternyata tetap saja kecewa dengan ekspektasi sendiri. Ya, sekali lagi diajak bercanda dengan waktu.

Tidak apa. Semua belajar. Belajar mengontrol diri agar tidak sering lagi menyakiti. Dengan segala sudah yang kupaksakan serta segala kecewa tanpa penyesalan, aku jadi bertanya "apa yang perlu kuperbaiki agar tak terulang lagi?" Tampaknya benar kata Ibu.

"boleh menginginkan, memperjuangkan, hingga menangisi sesuatu ketika hilang, tapi sekuat apapun jangan sampai kehilangan diri. Tetap kamu yang utama." Mungkin itu.

Paling lapang ya tetap mengoperasikan pikiran dan menghargai proses. Hanya satu, makna tidak pernah hilang.

Sekian dari 2020.