KENANGAN
Rosida Eka Oktaviani Pakartining Madu
Rinai pagi itu menghambat laju langkah Sandi.
Tubuhnya terhenti pada sebuah sudut dunia yang ia angap Neraka. Seketika
pandangannya pecah berserakan tanpa haluan
Pohon jambu bercabang satu di sudut rumah menantu
ia tatap bagai musuh bebuyutan. Tangan dekilnya bergetar, bola matanya memerah.
“Kau lah musuh abadiku.” teriaknya hingga terdengar
semua tetangga.
Langkahnya menuju rumah sang mertua ia batalkan. Di
bawah raut senja, ia melangkah kembali ke gubuk kecil yang sampai saat ini
selalu menjaga Sandi di setiap malam dan siang. Harta peninggalan keluarga ia
kuras untuk nostalgia. Hidup sebagai tuna wisma tidak mengahalangi rasa
cintanya pada kembang desa. Karen nama kekasih yang ia idamkan hingga usai
sebuah zaman.
Gadis belia yang masih duduk di bangku kuliah,
pernah ia ajak untuk menikah saat di suatu tempat yang rapat akan sebab dan
akibat. Di dalam bus mini, lidah tajam Sandi menunjukkan aksi kegemulaian dalam
bermain kata.
“Karen. mau kah kau dampingi noda dunia ini di masa
depanmu. Memang pandanganmu di sisi kehidupanku sudah sangat luas, memang tak
seharusnya ku sikat lidah ini tuk ucapkan kata yang mengganjal di hati.” rayu
yang keras ia ucapkan hingga para penumpang lain bersorak gembira
“Wahai laki-laki yang kuanggap saudara sendiri,
alangkah baiknya kita hidup bersama tanpa hubungan suami istri, aku adalah
wanita tak suci yang kau anggap bidadari sejati. Andai kau tahu hijab yang kau
berikan sewaktu kita berjalan di atas lingkaran persahabatan sudah aku bakar di
atas rasa penyesalan. “Ucapnya terang-terangan di depan banyak penumpang.
Seketika itu ia turun dari bus mini yang ia naiki, tanpa membayar ongkos
perjalanan.
Sandi yang merasa bersalah, lantas mengejarnya
tanpa hirauan perkataan orang di sekitarnya. Jarak yang jauh tak bisa ia
pungkiri.
Bruuuuuaaakss!!. Karen gadis pujaannya pupus
dihempas truk bermuatan gas berbahaya. Seluruh tubuh Karen hangus terbakar api
yang keluar dari truk.
Kaki kecil Sandi seketika lumpuh, urat nadinya terhenti
Karena takdir ilahi. Lidah manisnya kasat tak berpelumas. Ia menyesal
mengungkapkan kata hatinya yang bisa mengundang kematian.
“jangan nodai tubuh sucinya, ini dosaku. Biarlah
tangan dekilku mengangkut gemulai tubuhnya yang kusut Karena hasrat. asal
kalian tahu dia adalah wanita suci yang diturunkan sebagai bidadari
berselendang merah jambu untuk meminang laki-laki busuk sepertiku.” cegah Sandi
saat sang petugas akan menyentuh tubuh Karen.
Syal merah jambu pemberian Sandi masih utuh tak
terbakar di dalam tas yang dibawa Karen waktu itu. ia selendangkan di leher Karen
yang sudah menjadi abu.
“Andai kau masih hidup dan tidak bersikap
kekanak-kanakan. Mungkin syal merah jambu ini yang menghangatkan kehidupan kita
di kemudian hari.” bisik Sandi di samping telinga Karen yang mungkin tak
berfungsi lagi.
Matahari kian malu menampakkan wujudnya. di atas
teras, lamunannya terhenti oleh tirai hujan yang membasahi lukisan suci karya Karen.
Kehidupan Sandi selalu kelabu walau ia sudah mempunyai bidadari baru di sisi
kehidupannya. Nama “Karen” masih abadi di sekelebat kenangannya.