Diari Rosi | Paskibra: Bukan Hobi Melainkan Tragedi




Bukan Hobi Melainkan Pengalaman Luar Biasa

Pernah menyetujui sebuah hal yang tidak selaras denganmu? Atau melakukan hal yang tidak pernah terpikirkan olehmu? Sering. Baiklah, seperti aku yang memutuskan untuk join ekstrakulikuler paskibra saat SMA. Jujur sejujur-jujurnya tidak pernah terlintas di otak ku untuk mengikuti ekstrakulikuler itu. Itu sebuah kecelakaan. Hidup memang banyak kejutan. Allah Maha Pemberi Surprise.

Aku sedikit lupa kapan tepatnya sejarah itu terukir, seingatku hari Selasa. Kala itu ada kakak-kakak tingkat yang tiba-tiba masuk tanpa permisi, memang benar kalau waktu itu kelas sedang jam kosong. Tetapi sebagai siswa baru yang masih unyu-unyu (aku tidak mau berkata polos) otomatis kaget. Apalagi di sana juga terpampang nyata kakak KDS (sebutan untuk kakak kedisiplinan yang nyeremin) yang ikut mendata beberapa nama dari kita. “Heh cah nyapo ye kok onok KDS?” salah seorang temanku menambah kepanikan. Melihat kakak KDS itu terbesit pemikiran yang menurutku wajar “Ahh ada Mas KDS, pasti perekrutan anggota baru KDS, nggak usah panik Ros kamu gak mungkin dilirik”. Ketenanganku bertambah.

 Baru saja menghela napas, “Adik namamu siapa?” Sontak aku menjawab, “Rosida Eka Oktaviani Pakartining Madu” Aku terlalu kaget, dan berlaku bodoh. Aku menatap wajah Mas yang aku rahasiakan identitasnya, tidak tega melihat wajah yang bodohnya hampir mirip denganku, aku melanjutkan kalimatku. “Aduh maaf kak, saya Rosida. Oh ya ini data apa ya Kak?” Entah marah, atau bingung Mas-mas itu langsung pergi meninggalkan mejaku tanpa menjawab pertanyaanku.
Sedikit jengkel sih dengan sikap mas-mas itu, tetapi ya sudahlah … itu sebuah rahasia. Baik, sekarang tiba saatnya jam istirahat, tapi lagi-lagi kelasku kehilangan beberapa menit waktu untuk istirahat karena kakak tingkat. Kali ini hanya 2 orang, salah seorangnya langsung berkata “Maaf mengganggu waktunya, untuk adik-adik yang namanya kami sebutkan mohon sekarang juga berkumpul di aula, bisa dimengerti?”. Semua kompak mengiyakan omongan mereka. Penyebutan nama pun dimulai, alhasil namaku disebutkan. Wahh ada apa ini?

Setelah kakaknya menyebutkan nama-nama yang entah itu untuk apa, mereka mengulangi instruksi yang sama. Seketika itu pula kami para korban ketidakjelasan kakak-kakak langsung mengekor. Kaget dan bingung itu hal yang tergambar di raut wajahku. Betapa banyaknya siswa baru yang berada di sana. Di sana aku sempat mengobrol dengan salah seorang temanku dari kelas lain, namanya Anita. Aku kira hanya dirikulah yang bingung dengan hal aneh ini, tapi ternyata wajah-wajah mereka hamper semua terlihat linglung. Haha …

Tanpa ada pemberitahuan apa-apa kita semua diminta untuk mengikuti instruksi dari Kakak Alfi (aku lupa pake f atau v, tak begitu penting). Dari instruksi itulah, aku bisa paham apa maksud dari ini semua. Sekitar satu jam kita diseleksi, akhirnya tinggalah dua pleton. Masing-masing putra dan putri. Dan aku ada diantara mereka. Aku bimbang antara senang atau sedih. Senang karena lolos seleksi atau sedih karena aku punya tanggung jawab baru, dan belum ada pengalaman apa-apa. 

I can do this! Kata-kata mujarab itu tiba-tiba terbesit di pikiranku. Pengalaman baru itu sebuah tantangan. Bismillah. Awalnya sih berat, banyak banget konsekuensi yang harus diterima. Salah satu yang terberat adalah meninggalkan satu bulan kegiatan belajar mengajar kelas. Oke, bukan Rosida kalau tak suka tantangan. Walau aku sadar pake banget kalau ini bukan bidangku, banget. Aaaa …. Bodo amat, sekarang itu jamannya bukti dan bukti lolos seleksi itu ada. (sebenarnya ini penguatan kepedean diri rek). Adapula hal yang membuat teman-temanku berubah pikiran, dan memilih mundur. Ya kita harus mau memotong mahkota indah ini ala-ala paskibra. Namun bagiku itu tidak masalah, justru hal baru untuk rambutku itu baik. Mengingat aku tidak pernah mengubah rupa rambutku.

Para paskibra cantiks :)
Di tempatku yang baru ini, orang-orang baru juga ada di sekelilingku. Kakak tingkat yang jahat tapi terkesan manis (Apase?) teman-teman yang beraneka sifat, serta kondisi alam yang drastis bedanya. Sebenarnya kalau pengalaman pertama dari baris-berbaris sih nggak. Sebelumnya aku pernah ikut juga baris saat masih sekolah dasar. Hanya saja ini konteksnya beda, bukan hanya baris sekedarnya. Perlu tenaga dan kondisi tubuh yang senantiasa tahes setahes-tahesnya. Sampai-sampai aku harus cari kost agar tidak tepar mendadak, akibat come home late everyday. Anehnya aku tidak pernah ingin pingsan selama latihan. Walau nggak kuat, nampang aja kuat. Walau pucat, liatin aja kalau masih ada taburan bedak dan lips. Hehe. Menguatkan diri di tengah kelemahan adalah suatu hal yang membuat kita terkejut dengan hasilnya. (sudah kubuktikan, ada hal hebat disana)

Hari-H tiba, saat itu aku tidak berangkat dari Kras melainkan dari kost ku. Bersama seorang temanku, aku menembus dinginya pagi berbalut embun yang mengganggu penglihatanku, sayangnya mereka begitu menyejukkan, no problem now. Sesampainya disana kita mulai menyiapkan segala hal yang akan dihadapi. Skip … skip … Tak ada yang menduga bila awalnya berseri-seri tiba-tiba lupa bagaimana cara tersenyum ikhlas. Sejak tiga per empat perjalanan hingga finish kita tidak memberi senyum sama sekali. Senyum kita teralihkan untuk penguatan diri agar tiba di garis hitam putih dengan selamat.  Untuk saat ini saya tidak bisa mengamati wajah teman-temanku satu per satu. Tak sanggup dayaku … 


Garis finish. Huhh itu yang menjadi penantian panjangku bersama teman-teman. Padahal hanya keliling Kediri, tapi udah kayak jalan Malang-Kediri aja. Lucu banget, tapi aku bisa ketawa ketika sadar dan itu telat. Saat kaki menginjak garis finish, dan si danton memberi aba-aba “Henti … graakkk!” sontak 80% dari kita bukan malah berhenti dengan posisi tegap, justru dengan posisi terlentang bebarengan. Setelah itu aku tak tahu apa-apa, karena aku juga pelaku dari perbuatan haram itu. Kalah wes ….

Sudah. Wajahku tak berbentuk tak karuan, setelah sadar gak peduli bagaimana rupa, dan tetek bengeknya aku langsung menyendiri diantara kerumunan orang (Nah loh piye iku?). Yang aku pikirkan sih bukan apa-apa, tapi kok gak ada yang perhatiin aku gitu (Rosida radak blank antara sadar dan tidak, di suasana lemas pun masih bisa pikir gituan, tapi jujur saja emang itu yang aku pikirin wajar kan?) Tak lama kemudian, ada kakak tingkat namanya Kak Dody datang (siapakah gerangan?) dia tanya pake bahasa jawa, kira-kira gini “Adik baik-baik kan?” terus aku jawab seadanya karena masih lemas. Setelah mendengar jawabanku dia mempersilahkan aku makan, dan PERGI. (Yah ditinggal, tidak menarik. Guyon heh)

Ada banyak pelajaran kala itu, pertama aku tahu tentang rasanya berjuang. Bukankah hampIr sama antara aku dan para pedagang kaki lima, pemulung, dan pekerja jalan yang merasakan teriknya matahari siang? Itulah perjuangan. Yang lain lagi, rasanya melakukan hal yang bukan hobi itu memang berat, serba salah, dan terkesan terpaksa. Mencoba ikhlas, tapi takut salah tafsir buktinya aku masih menunggu-nunggu hasil dengan tindakan yang tidak maksimal, bagiku hasil itu nol, justru minus karena pingsan. Dan dari sini aku merasakan tentang berjuang tanpa landasan hobi, sekedar mampu dan tambah pengalaman. Fix, ini semua pengalaman yang tak bisa terhapus dalam ingatan. Sampai kapan? Sampai aku ditanya lagi sama Kak Dody dengan pertanyaan yang sama. Wkwkwk ….(Ojo serius sam!).

KPBS Smapa 2013-2014

Komentar