Diari Rosi l Kepada Zona Nyaman


NYAMAN BUKAN BERARTI AMAN

Terlahir menjadi gadis yang tertutup dan pendiam, membuat hidup ini memerlukan strategi adaptasi yang ekstra. Adalah mahasiswa sastra yang kini sedang menyibukkan diri dengan kegiatan sosial. Ada beberapa hal yang berubah dari kehidupan saya, dan satu-satunya pengaruh terbesar adalah lingkungan sekitar. Saya adalah salah satu bukti, bahwa pengaruh terbesar kedudukan seseorang adalah lingkungan dan peranannya.
            Ketika awal duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, saya adalah salah satu siswa pendiam yang takut untuk melakukan apa yang sebenarnya saya sanggup lakukan. Contohnya menjadi pengurus osis dan organisasi intra sekolah lainnya. Masalah yang timbul sungguh sepele, saya meragukan kontribusi yang akan saya berikan. Jika dipikir-pikir, tidak ada untungnya memikirkan hal tersebut, bila pada akhirnya tidak terlaksana. Dimana kita berjuang, disitu pula akan banyak jalan yang tak terduga. Hingga ada beberapa masa dimana sebuah kesempatan berdatangan. Bagaimana keinginan kita, keluar kandang atau mengurung diri dalam sangkar.
Bertahan pada zona nyaman sama artinya dengan katak dalam tempurung. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian ini, zona nyaman merupakan musuh utama umat manusia. Barangsiapa yang tidak siap untuk keluar dari zona nyaman, maka; pertama tidak akan berkembang; Kedua, kemungkinan zona nyaman sudah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman dan aman.
            Pada akhir masa SMA, saya memberanikan diri untuk mengambil resiko lebih besar. Salah satunya yaitu mengambil pilihan tes IPC atau Ilmu Pengetahuan Campuran saat ujian masuk kampus beberapa tahun lalu. Bukan karena sanggup mempelajari segala hal tentang dua disiplin ilmu, melainkan karena keegoisan diri mulai berkobar. Kala itu keinginan saya hanya pada dua jurusan, Bahasa Indonesia atau Biologi. Tidak ada yang lain. Kampus tujuan saya hanya Universitas Indonesia dan Universitas Negeri Malang. Sebab orang tua tidak mengizinkan saya kuliah lintas provinsi, akhirnya pilihan berlabuh pada Universitas Negeri Malang. Mempelajari dua disiplin ilmu dalam waktu sekejap tentu bukan hal yang mudah, satu disiplin ilmu saja tidak tuntas-tuntas terserap otak. Namun apalah daya, kekuatan doa yang diiringi dengan niat berjuang membuat saya lebih siap mental untuk apa yang telah Tuhan rencanakan pada saya. Maka dari itu, apresiasi penuh berdatangan pada saya yang mengkukuhkan diri untuk keluar kandang yang tak semudah membuka pintu dengan kunci yang telah siap sedia.
 Bila dipikir-pikir, berdiam pada kenyamanan hidup itu membosankan. Bagaimana tidak, setiap hari kita akan mengulang kegiatan yang sama. Pembaharuan yang terjadi sangat minim, bahkan sang tokoh dapat meniadakan pembaruan kegiatan dalam hidupnya—asal ia bersedia. Memang tidak ada yang salah dari menetapkan diri di sangakr sendiri. Namun hal tersebut tidak baik di masa depan. Saat awal duduk di bangku SMA hingga menjelang kelulusan, sikap tertutup ini sedikit demi sedikit teratasi. Sekali lagi, peran teman, dan guru sangat berpengaruh. Pada tulisan ini saya benar-benar memuja lingkungan serta tokoh-tokoh di dalamnya.
Kembali lagi, dari sekolah dasar saya menggemari mata pelajaran matematika. Sangat menggemari. Salah satu alasannya adalah kecintaan saya terhadap metode mengajar yang diterapkan guru saya—Bu Win namanya. Beliau menggunakan teknik menghafal rumus dengan cerita. Jadi, kesan yang timbul saat proses belajar mengajar berlangsung tidak monoton dan menegangkan. Jujur saja, saya tipe orang yang gaya belajarnya tidak bisa jika monoton. Begitu seterusnya. Selain itu saya juga senang belajar ilmu-ilmu sains, kecuali kimia. Bukan benci namanya, hanya saja ada ketidaknyamanan diri saya pribadi dengan mata pelajaran kimia itu sendiri. Dengan melihat latar belakang saya yang lama bermain dengan ilmu sains. Alangkah lucunya bila sekarang saya bermain kata. Alasan saya tidak mengambil jurusan sosial saat SMA adalah kelemahan saya pada ingatan. Saya senang membaca, tapi tidak untuk sejarah. Saya senang matematika yang notabenya hitung menghitung, namun bukan menghitung rupiah. Saya suka traveling, namun bukan untuk mengamati batuan-batuan yang tersusun pada sebuah gunung. Saya senang mengamati isu-isu pemerintahan, tapi tidak tertarik mendalami politik. Hanya satu mata pelajaran yang hingga saat ini saya pelajari, mengenai sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, saat ini saya disibukkan dengan kegiatan-kegiatan sosial yang dapat menambah relasi pertemanan saya.
            Mengambil sebuah keputusan dengan resiko dan tanggung jawab lebih tidak serta merta membuat saya berani begitu saja. Kala itu rasa dilema menghantam batin serta pikiran selama berminggu-minggu, bukan hiperbola. Saya berpikir lebih rasional saja, bila saya mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya sama berarti dengan terjun pada jurang yang tak berbeda. Saya mengurangi bahkan mengehentikan komunikasi dunia maya. Saya lebih memilih berbagi cerita dengan orang tua dan orang-orang terdekat. Banyak sekali wejangan-wejangan yang membangkitkan semangat saya meneruskan cita- cita. Oh, satu hal lagi yang perlu dipahami, terkadang hidup tanpa sosial media benar nyaman dalam kesunyian.
            Bicara tentang apa yang disebut cita- cita. Saya memiliki cita- cita utama dan pendukung. Untuk cita- cita utama, saya hanya ingin mendedikasikan diri saya sebagai seorang pendidik. Lalu, cita-cita pendukung lain, cukup banyak. Saya ingin menjadi content creator, penulis, programmer, pengusaha home décor, pemilik rumah makan, koki, fotografer, sutradara film, public speaker, wartawan, penyiar, hingga pekerja seni yang suka menggambar tapi tidak bisa menggambar. Semua keinginan-keinginan itu terbesit di kepala bukan secara tiba-tiba, selalu ada tokoh yang mengawali pemikiran itu hingga menjadi doa yang suatu saat akan tergapai. Bisa dilihat bukan, impian-impian yang terlintas dalam pikir saya setelah terlabel mahasiswa sastra jauh berbeda dengan ketika saya sekolah. Cita- cita pendukung saya saat itu adalah ahli gizi, dokter spesialis dan sejenisnya. Satu hal yang perlu digarisbawahi saat ini, bahwa apa yang kamu sukai belum tentu menjadi potensi diri yang sesungguhnya.
            Saya tetap menjadi manusia introvert yang lebih nyaman menyendiri di tengah keramaian, lebih suka memendam dari pada mengisahkan. Namun bukan berarti dipandang anti sosial. Terdapat sisi lain yang ditunjukkan seseorang yang terbiasa tertutup. Dan lahan untuk ia belajar keluar dari zona nyaman adalah lingkungan. Tidak mudah menyatu dengan lingkungan dengan waktu singkat. Sosok introvert hanya tentang bagaimana ia berpikir dan mengambil tindakan akan suatu masalah, bukan berarti selamanya ia akan menutup diri dari lingkungan sekitar. Introverst, ekstrovert hanya istilah. Selebihnya, bagaimana manusia tersebut memperoleh banyak pengalaman dari yang ia indera. Cobalah untuk mengenali sekitar. Tak perlu tregesa- gesa, semua ada masanya. Namun segerakanlah meninggalkan zona nyaman untuk mendapatkan kisah baru yang belum pernah dialami sebelumnya. Ketakutan itu hal wajar. Yang perlu diingat adalah segala masalah baik sederhana maupun kompleks pasti ada penawarnya. Tunjukan bahwa dengan keluar dari zona nyaman, kalian akan menjadi sosok yang lebih baik dan benar.

Komentar