Dear 5 Oktober yang Ke -20...


semoga kian baru dan membaik


Kepada mawar yang diharapkan tumbuh, entah oleh siapa. Tidak ada keistimewaan pada tanggal ini. Perayaan-perayaan umur sekadar angka, sekadar perhitungan. Pada masanya hitungan itu akan terhenti oleh kehendak Tuhan.

Ayah, Ibu terima cinta telah mengasihiku. Maaf atas segala luka yang tercipta karenaku. Kalian terlampau istimewa. Bila masa dapat mengulang kelahiran, Bu; dengarlah, noda2 darah-- cerita2 lusuh-- hingga kristal air mata yang hampir memerah tak rela kuserahkan padamu. Ampuni gadismu, Ayah.

Berbahagialah di setiap detik. Sehatlah di setiap langkah. Terlindungilah di setiap nafas. Allah senantiasa menyayangi kalian, dalam indahnya fajar hingga eloknya senja.

Teruntuk rekan-rekan. Terima kasih telah mengingat, terima kasih telah rela membagi warnamu dalam kanvasku. Marahlah bila aku salah, caci aku dengan kebaikan. Tuhan bangga pada kalian, percayalah. Pada tiap2 waktu menjelang larut, aku menceritakan kalian kepada Tuhanku. Kataku, "hadiahkanlah mereka bahagia karenamu, Ya Allah."

Kutau apapun yang hidup kan tumbuh berubah dan menua. Lagi, dalam renungku kala 20 tahun telah tergenggam. Mudah2an aku senantiasa mengingat Tuhan. Al Fatihah... 🌹

Genggaman manis,
PakartiningMadu

Diari Rosi l Kepada Zona Nyaman


NYAMAN BUKAN BERARTI AMAN

Terlahir menjadi gadis yang tertutup dan pendiam, membuat hidup ini memerlukan strategi adaptasi yang ekstra. Adalah mahasiswa sastra yang kini sedang menyibukkan diri dengan kegiatan sosial. Ada beberapa hal yang berubah dari kehidupan saya, dan satu-satunya pengaruh terbesar adalah lingkungan sekitar. Saya adalah salah satu bukti, bahwa pengaruh terbesar kedudukan seseorang adalah lingkungan dan peranannya.
            Ketika awal duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, saya adalah salah satu siswa pendiam yang takut untuk melakukan apa yang sebenarnya saya sanggup lakukan. Contohnya menjadi pengurus osis dan organisasi intra sekolah lainnya. Masalah yang timbul sungguh sepele, saya meragukan kontribusi yang akan saya berikan. Jika dipikir-pikir, tidak ada untungnya memikirkan hal tersebut, bila pada akhirnya tidak terlaksana. Dimana kita berjuang, disitu pula akan banyak jalan yang tak terduga. Hingga ada beberapa masa dimana sebuah kesempatan berdatangan. Bagaimana keinginan kita, keluar kandang atau mengurung diri dalam sangkar.
Bertahan pada zona nyaman sama artinya dengan katak dalam tempurung. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian ini, zona nyaman merupakan musuh utama umat manusia. Barangsiapa yang tidak siap untuk keluar dari zona nyaman, maka; pertama tidak akan berkembang; Kedua, kemungkinan zona nyaman sudah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman dan aman.
            Pada akhir masa SMA, saya memberanikan diri untuk mengambil resiko lebih besar. Salah satunya yaitu mengambil pilihan tes IPC atau Ilmu Pengetahuan Campuran saat ujian masuk kampus beberapa tahun lalu. Bukan karena sanggup mempelajari segala hal tentang dua disiplin ilmu, melainkan karena keegoisan diri mulai berkobar. Kala itu keinginan saya hanya pada dua jurusan, Bahasa Indonesia atau Biologi. Tidak ada yang lain. Kampus tujuan saya hanya Universitas Indonesia dan Universitas Negeri Malang. Sebab orang tua tidak mengizinkan saya kuliah lintas provinsi, akhirnya pilihan berlabuh pada Universitas Negeri Malang. Mempelajari dua disiplin ilmu dalam waktu sekejap tentu bukan hal yang mudah, satu disiplin ilmu saja tidak tuntas-tuntas terserap otak. Namun apalah daya, kekuatan doa yang diiringi dengan niat berjuang membuat saya lebih siap mental untuk apa yang telah Tuhan rencanakan pada saya. Maka dari itu, apresiasi penuh berdatangan pada saya yang mengkukuhkan diri untuk keluar kandang yang tak semudah membuka pintu dengan kunci yang telah siap sedia.
 Bila dipikir-pikir, berdiam pada kenyamanan hidup itu membosankan. Bagaimana tidak, setiap hari kita akan mengulang kegiatan yang sama. Pembaharuan yang terjadi sangat minim, bahkan sang tokoh dapat meniadakan pembaruan kegiatan dalam hidupnya—asal ia bersedia. Memang tidak ada yang salah dari menetapkan diri di sangakr sendiri. Namun hal tersebut tidak baik di masa depan. Saat awal duduk di bangku SMA hingga menjelang kelulusan, sikap tertutup ini sedikit demi sedikit teratasi. Sekali lagi, peran teman, dan guru sangat berpengaruh. Pada tulisan ini saya benar-benar memuja lingkungan serta tokoh-tokoh di dalamnya.
Kembali lagi, dari sekolah dasar saya menggemari mata pelajaran matematika. Sangat menggemari. Salah satu alasannya adalah kecintaan saya terhadap metode mengajar yang diterapkan guru saya—Bu Win namanya. Beliau menggunakan teknik menghafal rumus dengan cerita. Jadi, kesan yang timbul saat proses belajar mengajar berlangsung tidak monoton dan menegangkan. Jujur saja, saya tipe orang yang gaya belajarnya tidak bisa jika monoton. Begitu seterusnya. Selain itu saya juga senang belajar ilmu-ilmu sains, kecuali kimia. Bukan benci namanya, hanya saja ada ketidaknyamanan diri saya pribadi dengan mata pelajaran kimia itu sendiri. Dengan melihat latar belakang saya yang lama bermain dengan ilmu sains. Alangkah lucunya bila sekarang saya bermain kata. Alasan saya tidak mengambil jurusan sosial saat SMA adalah kelemahan saya pada ingatan. Saya senang membaca, tapi tidak untuk sejarah. Saya senang matematika yang notabenya hitung menghitung, namun bukan menghitung rupiah. Saya suka traveling, namun bukan untuk mengamati batuan-batuan yang tersusun pada sebuah gunung. Saya senang mengamati isu-isu pemerintahan, tapi tidak tertarik mendalami politik. Hanya satu mata pelajaran yang hingga saat ini saya pelajari, mengenai sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, saat ini saya disibukkan dengan kegiatan-kegiatan sosial yang dapat menambah relasi pertemanan saya.
            Mengambil sebuah keputusan dengan resiko dan tanggung jawab lebih tidak serta merta membuat saya berani begitu saja. Kala itu rasa dilema menghantam batin serta pikiran selama berminggu-minggu, bukan hiperbola. Saya berpikir lebih rasional saja, bila saya mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya sama berarti dengan terjun pada jurang yang tak berbeda. Saya mengurangi bahkan mengehentikan komunikasi dunia maya. Saya lebih memilih berbagi cerita dengan orang tua dan orang-orang terdekat. Banyak sekali wejangan-wejangan yang membangkitkan semangat saya meneruskan cita- cita. Oh, satu hal lagi yang perlu dipahami, terkadang hidup tanpa sosial media benar nyaman dalam kesunyian.
            Bicara tentang apa yang disebut cita- cita. Saya memiliki cita- cita utama dan pendukung. Untuk cita- cita utama, saya hanya ingin mendedikasikan diri saya sebagai seorang pendidik. Lalu, cita-cita pendukung lain, cukup banyak. Saya ingin menjadi content creator, penulis, programmer, pengusaha home décor, pemilik rumah makan, koki, fotografer, sutradara film, public speaker, wartawan, penyiar, hingga pekerja seni yang suka menggambar tapi tidak bisa menggambar. Semua keinginan-keinginan itu terbesit di kepala bukan secara tiba-tiba, selalu ada tokoh yang mengawali pemikiran itu hingga menjadi doa yang suatu saat akan tergapai. Bisa dilihat bukan, impian-impian yang terlintas dalam pikir saya setelah terlabel mahasiswa sastra jauh berbeda dengan ketika saya sekolah. Cita- cita pendukung saya saat itu adalah ahli gizi, dokter spesialis dan sejenisnya. Satu hal yang perlu digarisbawahi saat ini, bahwa apa yang kamu sukai belum tentu menjadi potensi diri yang sesungguhnya.
            Saya tetap menjadi manusia introvert yang lebih nyaman menyendiri di tengah keramaian, lebih suka memendam dari pada mengisahkan. Namun bukan berarti dipandang anti sosial. Terdapat sisi lain yang ditunjukkan seseorang yang terbiasa tertutup. Dan lahan untuk ia belajar keluar dari zona nyaman adalah lingkungan. Tidak mudah menyatu dengan lingkungan dengan waktu singkat. Sosok introvert hanya tentang bagaimana ia berpikir dan mengambil tindakan akan suatu masalah, bukan berarti selamanya ia akan menutup diri dari lingkungan sekitar. Introverst, ekstrovert hanya istilah. Selebihnya, bagaimana manusia tersebut memperoleh banyak pengalaman dari yang ia indera. Cobalah untuk mengenali sekitar. Tak perlu tregesa- gesa, semua ada masanya. Namun segerakanlah meninggalkan zona nyaman untuk mendapatkan kisah baru yang belum pernah dialami sebelumnya. Ketakutan itu hal wajar. Yang perlu diingat adalah segala masalah baik sederhana maupun kompleks pasti ada penawarnya. Tunjukan bahwa dengan keluar dari zona nyaman, kalian akan menjadi sosok yang lebih baik dan benar.

Review Suka-Suka | Aroma Karsa, Imajinasi Dee

Petualangan Jati Wesi,
Fiksi Rasa Non Fiksi 

Instagram Collection

Assalamualaikum teman-teman! 
Bulan lalu aku mengikuti Gathering buku Aroma Karsa di Surabaya. Tepatnya di Graha Pena Jawa Pos. Aku lupa sih waktunya kapan, yang jelas aku kesana menggunakan jasa transportasi umum dari stasiun Malang Kota dan turun di stasiun Kertosono. Aku berencana nulis experience ini sejak lama, tapi kepentok sama DL nulis di salah satu platform dan lanjut UAS akhir semester, wkwk ALASAN! 


Foto Bersama Mbak Dee

Sebelum aku beranjak ke pengalaman gathering hari H, aku akan sedikit bercerita asal-usul aku bisa mendapatkan tiket gathering itu cuma-cuma. Waktu itu aku mendapat informasi gathering dari Instagram @bentangpustaka terus aku coba-coba deh daftar, isi formulirnya, dan melengkapi persyaratannya. Eh sepekan kemudian aku dapat kiriman surel isinya kode tiket, tanpa pikir panjang aku langsung memesan tiket kereta untuk menghadiri gathering tersebut, biar nggak kehabisan. Saat itu aku tidak memikirkan bagaimana rapat-rapat organisasi yang aku tinggalkan mendadak. Teman-temanku juga kaget dengan acara yang tengah aku perjuangkan. Anyway, aku nggak serta merta meninggalkan kewajibanku di Malang. Aku masih sangat ingat, kala itu hari Jumat yang pendek. Menyelesaikan segala kewajiban pribadi sekaligus organisasi saat itu sama seperti kerja rodi yang seharusnya dikerjakan 3 hari lalu diborong menjadi sehari, but I'm okay asal gathering ini nggak melayang cuma-cuma.


Sudah dapat Acc dosen nih
Oke, singkat cerita aku sampai di Surabaya pukul 14.30 WIB. Disana aku ditemani jalan-jalan oleh salah seorang temanku SMA, karena acara gathering baru dibuka pukul 18.00 WIB. Oh ya, ada kejadian kesasar dan salah info juga lo guys. Jadi ceritanya info tempat yang aku terima melalui surel itu adalah ruangan kosong nan gelap gulita, udah mirip gudang deh pokoknya. Alhamdulillah, aku menemukan teman baru di sana, namanya Ayu. Dia asli Surabaya yang sama-sama kesasar di gedung Graha Pena. 
Acara Gathering resmi dimulai pukul 19.00 WIB. Kala itu mbak Dee Lestari tampil anggun dan menawan dengan balutan gaun berwarna merah. Acara dibuka dengan video perjalanan Mbak Dee dari awal observasi hingga buku Aroma Karsa terbit.
Sosok-sosok yang ditunggu kemudian muncul bersama Reza Gunawan, suami Dee Lestari. Keduanya menampilkan musikalisasi puisi yang keren. Penonton terhanyut dan tersihir kedalam alunan melodi dan drama musikalisasi tersebut yang ternyata merupakan naskah novel Aroma Karsa Dee Lestari. 
"Karena sekali Banaspati, tetap Banaspati." Begitu salah satu kutipan dalam naskah novel Aroma Karsa. Akhirnya, riuh tepuk tangan penonton menyambut kehadiran Dee Lestari.
Siapa yang tak mengenal Dee Lestari, penulis dengan sejuta prestasi yang menciptakan karya-karya sastra unik, salah satunya penciuman Jati Wesi dalam buku terbarunya Aroma Karsa. Pendeknya Jati Wesi, protagonis dalam novel ini adalah seorang Sherlock Holmes dalam lingkup aroma. Berbeda dengan kita yang hanya mengidentifikasikan aroma wangi dan busuk, Jati Wesi dapat menjelaskan ribuan aroma.

Bagaimana Dee menciptakan keunikan dalam novelnya?

"Biasanya novel fiksi itu digambarkan melalui visual, kenapa tidak kita gambarkan melalui dunia aroma juga? Saya selalu membayangkan bagaimana sewaktu kecil saya mencium aroma rumput ditebas, atau aroma makanan yang akan saya makan. Dari situlah awal mulanya muncul sosok Jati Wesi yang memiliki hidung tikus," tutur Dee Lestari.

Berawal dari lontar kuno yang menunjukkan fakta-fakta tentang puspa karsa, bagai dongeng yang menjadi kenyataan. "Porsi pertama akan mengubah nasibmu. Porsi kedua akan mengubah nasib keturunanmu. Porsi ketiga akan mengubah dunia sebagaimana
keinginanmu." (hal 9) Karena itulah tokoh Janirah ingin memburu puspa karsa. Petualangan dalam upaya menemukan puspa karsa mengantarkan pengenalan Raras dengan Jati Wesi yang tinggal di TPA Bantar Gebang. Bukan hanya sebuah ketidaksengajaan tetapi menjadi sebuah anugrah sekaligus tujuan bagi Raras yang berkecimpung dalam bidang kecantikan. 

Jati ditangkap karena membuat parfum palsu, namun bukan untuk diproses hukum melainkan diminta bekerja di Perusahaan Kemara milik Raras Priyagung. Sejak awal Raras Priyagung dikemas sebagai seorang pemimpin yang ambisius. Cita-cita terbesarnya hanya untuk memiliki bunga puspa karsa. Perkenalan yang terjalin lebih mistikal dalam novel ini disatukan melalui perburuan bunga puspa karsa yang sakti dan berada pada tempat yang sulit dijangkau bernama Alas Kalingga.

Teman baru nih, ketemu di Surabaya
Dee Lestari menciptakan keasyikan di dunia barunya, aroma. Buku dengan 701 halaman ini membuat takjub akan keragaman aroma yang sukses membuat pembaca terjun dalam dunia yang ganjil. Kesuksesan Dee menghidupkan karakter yang baginya adalah anak jiwa memang tidak menutup kemungkinan tergantung pada dunianya sendiri. Seperti karya Dee sebelumnya, Supernova-- ia mengusung sidik jari berbeda: sains, kehidupan urban, dan kehidupan-kehidupan pada dimensi yang tak kasat mata. Dee mengaku ide mengenai aroma ini tercetus sejak empat tahun yang lalu. "Aku senang ketika mengetahui ada cerita lain yang membicarakan aroma, juga senang belum banyak yang mengangkat tema tersebut," Ungkap Dee ketika disinggung mengenai novel bertema aroma berjudul Das Parfum karya Patrick Suskind. Namun ada banyak perbedaan pada kedua novel tersebut, kesamaannya hanya terletak pada tokoh protagonis yang memiliki kemampuan istimewa pada indera penciumannya. 

Lalu bagaimana pembaca dapat terbuai dalam kisah novel ini?

Novel ini disajikan dengan mengawinkan beragam cita rasa dan mitologi Jawa dengan manusia urban. Dee menuliskan novel semi fantasi ini dengan gaya bahasa yang renyah. Pengaruh novel dalam kehidupan sangat nyata. Kisah dalam novel ini mengajarkan bahwa ada kenyataan tentang manusia rakus yang selalu ingin menguasai segala hal. Maka hargailah pendapat orang lain.

Waahh... aku benar-benar excited dan bersyukur bias hadir dalam acara tersebut. Banyak sekali pengalaman dan ilmu yang aku dapat. And finally, semoga aku bisa istiqomah berkarya :) Aamiin

Membaca Masyarakat | Antisosial Bersama Media Sosial


#Membaca Masyarakat

Cerita Lebaran: Media Sosial Justru Berakibat Antisosial




photo by: negerikitasendiri
            Era globalisasi yang semakin hari semakin canggih telah berhasil mempermudah segala aktivitas manusia. Ditambah dengan hadirnya media sosial yang nyatanya dapat menjalin komunikasi lebih efektif dalam jangkauan yang luas. Sayangnya, kemudahan ini memiliki kenyataan yang tak terduga. Sekarang banyak ditemukan pengguna media sosial yang salah menempatkan penggunaan kemudahan tersebut.  Sebagian banyak dari mereka lebih asik dengan dunia media sosial mereka daripada berinteraksi dengan dunia nyata. 

Artinya apakah media sosial justru membuat manusia menjadi anti sosial?

            Salah satu pengalaman terjadi saat lebaran kali ini. Tidak sedikit manusia memanfaatkan media sosial untuk mengucapkan “Selamat Hari Raya” dan meminta maaf melalui chat Whatsapp, instastory, tweet, dan media sosial lainnya. Aku juga melakukannya, hehe. Alasanku adalah aku tidak dapat bertatap muka untuk meminta maaf dengan manusia tersebut dalam momen lebaran kali ini. Untuk teman dan saudara yang sekiranya masih dapat berjumpa, aku meminta maaf sekaligus silaturahmi secara langsung. Nyatanya, masih ada broadcast ucapan “Selamat berlebaran” bertebaran tanpa memikirkan  siapa penerima pesannya. Bukan aku pastinya.

            Kejadian lain yang sempat aku amati adalah asik bermain gawai di rumah saudara. Ya, ternyata masih banyak manusia yang lebih tertarik mengobrol dengan gawai mereka daripada dengan sesama manusia yang nyata di depan mata. Tidak hanya anak muda, ternyata generasi 70-an juga mengalami kecanduan tersebut. Selain tidak nyaman dilihat mata, banyak sekali momen-momen berharga hilang begitu saja. Bagaimana tidak, waktu yang seharusnya dimanfaatkan untuk bertegur sapa berbagi cerita harus rela direnggut asiknya dunia maya.

            Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diketahui bahwa istilah antisosial memiliki perbedaan antara definisi secara ilmu psikologi dan antisosial yang disebut-sebut dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ilmu psikologi atau kejiwaan, istilah antisosial sering disebut dengan schizoid, yakni sebuah gangguan kepribadian yang bentuknya menghindari hubungan dengan manusia serta tidak menunjukkan banyak emosi. Sedangkan istilah antisosial yang disebut dalam tulisan ini mengacu pada impact penggunaan media sosial secara berlebihan, hingga mengabaikan dunia nyatanya.

            Studi telah menunjukkan bahwa manusia yang menghabiskan sedikitnya tiga kali mengecek media sosial dalam sehari, lebih mungkin terisolasi secara sosial. Ditambah lagi penggunaan media sosial yang disalahartikan. Misal, anggapan bahwa media sosial dapat menggantikan pengalaman berinteraksi secara nyata, bahkan merangkapnya. Apabila mereka terus terperangkap, maka tidak menutup kemungkinan mereka akan membandingkan penampilan mereka dengan penampilan pengguna media sosial lainnya. Poppito menambahkan bahwa manusia semacam ini akan tertekan jika tidak dapat mengikuti trend dunia maya ke dunia nyata. Ditambah lagi banyaknya informasi yang mudah diakses tanpa perlu difilter.

            Bagaimana cara bijak bermain media sosial dan jauh dari sikap antisosial?

            Media sosial sangat mempengaruhi perkembangan psikologis dan sosial manusia, terutama bila sudah mengenalnya semenjak kanak-kanak. Pasalnya, pada usia anak-anak mereka membutuhkan stimulasi dan sosialisasi di dunia yang nyata. Oleh sebab itu, sangat diperlukan peran orangtua untuk membatasi keaktifan di dunia maya serta membiasakan berinteraksi dengan dunia nyata. Dapat sekadar menyapa atau membiasakan mengobrol dengan keluarga dekat.

            Cara lain adalah dengan kesadaran diri bahwa kehidupan dunia maya sebatas agar terhubung dengan orang-orang yang jarang bisa kita temui di dunia nyata. Lalu sadar bahwa kita sebenar-benarnya hidup di dunia nyata, bukan dunia maya. Ambil tindakan untuk memberi batas maksimal waktu penggunaan media sosial, agar tetap seimbang antara kesehatan mental dan fisik. Mari bermedia sosial dengan bijak J

Membaca Masyarakat | Sex Harassment


SEXUAL HARASSMENT: APAKAH WAJAR?


sumber: kickandydirtist
Assalamualaikum, netizen dimanapun kalian berada! FYI saat ini aku sedang mager nulis. Lho tapi kok ng-publish artikel sih? Ya gapapa, bukankah mager nulis tidak berarti berhenti berkarya? Wkwk, aku mager nulis yang basisnya ilmiah bahkan aku juga mager nulis cerpen. Pokoknya aku sedang mager, gitu. Nah, lalu iseng buka-buka thread twitter. Ada sebuah thread yang menarik perhatianku, tentang sexual harassment  yang menimpa public figure di Indonesia. Pasti teman-teman mengetahui viral news ini kan?

            Menurut postingan dari akun Instagram salah satu public figure Indonesia, dia mengalami pelecehan seksual melalui DM Instagram. Korban angkat bicara tentang apa yang telah menimpanya. Then, para warganet juga ikut-ikutan untuk angkat bicara. Banyak sekali variasi speak up mereka. Ada yang menanggapi kasusnya, orangnya, latar belakang cerita hidupnya, dan banyak lagi varian sudut pandang mereka. Berikut aku contohkan variasi komentar mereka.

            Pertama, mental inlander. Komentar sejenis ini menganggap wajar kasus pelecehan seksual karena latar belakang dari pelakunya. Example: pelaku dianggap bule yang tidak mengerti budaya Indonesia dan budaya dari negara asal pelaku bertolak belakang dengan budaya Indonesia.

            Nah, kedua. Harassment = Compliment. Ini komentar jahat dari warganet, banyak sekali  komentar semacam ini. Contohnya, “harusnya bersyukur dong masih ada yang mau nglecehin, muka pas-pas’an gitu. ” Astaghfirullah, ini komentar yang menurut aku tidak bisa diterima akal, dan perasaan. Masih ada gitu yang nyuruh bersyukur atas kasus pelecehan?

            Lanjut ketiga, komentar tentang latar belakang korban. Ini aku rangkum jadi beberapa tipe komentar yang bisa dikategorikan senada. Tipe a kecil, menyalahkan profesi dan penampilan korban. Contohnya, “Pakaian itu dibenerin dulu, biar dihormatin,” ,“yaiyalah penyanyi, artis, terkenal, menurutku sih wajar dapat DM begitu,” hihihi. Reaksi cepat sebagian warga Indonesia mengenai kasus pelecehan seksual. Tipe b kecil yaitu salfok atau salah fokus. Dari sekian banyak komentar yang aku baca, ternyata ada juga yang salfok dengan grammar inggris yang digunakan untuk nulis caption. Jujur, aku bingung kenapa harus itu yang dikomentari instead of pelecehan seksualnya. Warganet memang lucu. Tipe c kecil, victim shaming. Komentar semacam ini tujuannya untuk menjatuhkan mental korban, dan banyak sekali komentar yang tidak valid.

            Keempat, komentar warganet yang masih menganggap biasa kasus ini. Ada yang menganggap kasus ini wajar, belum sampai pada titik dipegang-pegang atau oh my God, naudzubillah. Pokoknya kasus pelecehan seksual merupakan kasus yang ringan di Indonesia. Bahkan banyak juga yang mengomentari aksi publish ini sebagai aksi yang lebay, kurang kerjaan dll. Aku khawatir bakal ada komentar, “Ih lebay, baru juga digrape-grepe, diperkosa, dan yang gila-gila lainnya.” Alhamdulillah-nya, sebanyak jempol ini scroll masih ada juga komentar yang memberi impact baik kepada korban.

            Oke, itu merupakan beberapa variasi komentar warganet atas kasus pelecehan. Membaca komentar-komentar warganet tersebut secara tidak langsung kita dapat menyimpulkan miniatur mentalitas warga Indonesia dalam menyikapi kasus pelecehan seksual. Tidak sedikit yang berkata bahwa itu hal yang wajar dan tindakan korban yang mencoba berbagi ceritanya adalah lebay, hanya mencari sensasi.

            In my humble opinion, tindakan public figure tersebut untuk membagikan apa yang menimpanya merupakan hal yang benar. Karena apa? Kita tidak akan bisa belajar dari kesalahan jika kita tidak tahu apa yang pernah terjadi. Dalam kata lain, preventif itu penting. 93% korban kasus ini memilih bungkam dan tidak ingin melaporkan perlakuan yang mereka terima. Bermacam-macam alasan yang mereka ungkapkan, intinya mereka takut dan malu. Lalu, apakah harus untuk memojokkan 7% korban yang berani untuk mengungkap peristiwa hina tersebut? Atau ingin jika kasus pelecehan ini tembus hingga pemerkosaan dan pembunuhan? Naudzubillah...

            Mengingat kasus Ita Martadinata, Mei 1998 yang saya baca dari nasional.tempo. Saat itu kasus tersebut masih berjalan secara massif, brutal, traumatic. Ia merupakan korban sexual harassment yang berani angkat bicara, namun akhirnya terbunuh secara sadis. Hal tersebutkan yang membuat para korban bungkam, dan menambah kengerian mereka? Sudah terlecehkan, dianiaya, dibunuh. Kejam dan bukan aksi pendramatisiran.

            Terburuk sekarang ini adalah represi di kalangan masyarakat tentang pelecehan seksual. “Represi apa? Opini aja. Paling cuma cari sensasi,” Atau... merendahkan, “belum ada apa-apanya itu! Hanya melalui DM, belum sampai memasukkan beling kan?” inilah kebanyakan suara masyarakat Indonesia yang menganggap semua ringan. Masalah itu represi atau tindak pelecehan sebenarnya subyektif. Kalau aku pribadi, ketika di jalan lalu ada orang asing yang nyletuk, “Hai cewek, boleh kenalan gak? Cantik banget sih, sini!” Itu sudah aku anggap sebagai pelecehan. Walau mungkin ada perempuan juga yang menganggap itu wajar, kodratnya lelaki.

            Menurut artikel-artikel yang aku baca. Tidak mudah menaikkan derajat perempuan hingga suara mereka berhak didengar seperti sekarang ini. Boleh dibilang ini juga usaha dari kaum perempuan sendiri. Eh... kemudian mereka ditendang jauh-jauh- ironisnya dengan sesama perempuan. Contohnya sudah tadi di atas. Hehe. Aku tidak akan ngomongin atas nama feminisme. Berbahaya. Mungkin cukup mengatasnamakan persoalan ini sebagai humanism. Actually, para lelaki juga mengalami kasus ini di saat-saat tertentu.

            Terpenting dari yang penting-penting lainnya adalah bagaimana kita sebagai masyarakat Indonesia yang sekarang sudah hidup di zaman serba canggih untuk memanfaatkan kecanggihan yang telah tersedia. Bukan hanya berkomentar tanpa isi saja, tetapi juga berkomentar yang menimbulkan dampak positif untuk diri masing-masing dan orang sekitar. Biasakan bijak dalam menanggapi masalah.
            Oh ya, sedikit saran saja, jika kalian memiliki teman, saudara atau apalah itu yang tertimpa kasus layaknya sexual harassment tolong jangan diacuhkan. Dengarkan kasus mereka, dan beri solusi awal jika kalian takut untuk bertindak. Kuatkan mereka, yang paling penting jangan berbuat victim shamming. Laporkan ke pihak berwajib agar tidak semakin merajalela. Semoga bermanfaat, terima kasih. Ehh... ternyata mager juga akan selesai satu artikel

Diari Rosi | Mengapa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

Panorama Gedung Kuliah Fakultas Sastra UM
           
Salam sehat semua aktivis pembaca blog, seperti yang sudah saya sampaikan di tulisan sebelumnya bahwa akan ada lanjutan tulisan yang bicara perihal jurusan bahasa dan sastra serta remah-remah kisah saya sendiri di dalamnya. Jadi ini tulisan non fiksi yang bakal difiksi-fiksikan, hehe.  Tapi jangan khawatir dengan membaca blog ini kalian akan tersesat di jalan yang benar kok, insyaAllah semua atas izin Allah.

            Saya awali dari kampus saya, jadi di Universitas Negeri Malang sendiri, fakultas yang menaungi jurusan-jurusan bahasa dan sastra diberi nama Fakultas Sastra. Di dalamnya ada naungan jurusan yaitu Sastra Indonesia (Sasindo), Sastra Inggris (Sasing), Sastra Jerman (Sasjer), Sastra Arab (Sasrab *ingat ada huruf s) serta Seni dan Desain (Sedesa). Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa ada seni di sastra? Sastra itu juga termasuk seni lho, guys. Seni beraksara.

            Secara umum semua jurusan di atas terbagi menjadi 2 jenis prodi, yaitu prodi pendidikan dan prodi non-pendidikan. Bukan jadi rahasia lagi, bahwa Universitas Negeri Malang adalah kampus penghasil pendidik-pendidik terpercaya sejak lama. Mengingat julukannya The Learning University. Namun juga bukan berarti jurusan nondik dikesampingkan.

            Lalu apa perbedaan dik dan nondik? Hampir seluruh calon mahasiswa bertanya perihal tersebut. Sebenarnya sudah jelas sekali bukan? Mungkin maksud mereka keunggulan antara keduanya, iya? Hehe. Tak hanya bahasa dan sastra saja, namun juga seluruh jurusan teknik, mipa, sosial, ekonomi, dll yang memiliki awalan pendidikan akan mendapat tambahan matakuliah tentang pendidikan. Contoh, perkembangan peserta didik, belajar dan pembelajaran, kurikulum, dan masih ada beberapa lagi lainnya. Prodi pendidikan ini memang benar-benar disiapkan untuk menjadi pendidik kelak. Sedangkan yang nondik, mereka tidak belajar tentang peserta didik, tetapi kebanyakan mereka akan belajar tentang ilmu enterpreuner. Mereka disiapkan untuk menjamah profesi selain guru, dalam bahasa dan sastra misalnya, mereka dapat memanfaatkan ilmunya untuk menjadi sastrawan bahkan pengusaha bidang bahasa dan sastra.

            Ngomong-ngomong nih, saya adalah mahasiswa prodi pendidikan. Oleh karena itu saya akan bercerita mengenai prodi saya terlebih dahulu sebelum menyampaikan yang lainnya. Menjadi mahasiswa dengan embel-embel calon guru itu menyenangkan, bagi saya. Bagaimana tidak, pekerjaan kita nantinya membagikan kebaikan-kebaikan ilmu untuk mengupas indahnya semesta. Guaya gini bahasa saya. Wkwk. Saya tidak tahu pasti kenapa saya jatuh hati dengan sangat terhadap dunia pendidikan. Bawaannya asik aja kalau saya sedang melakukan aktivitas mengajar. So, cobain sensasi ngajar sekarang juga, InsyaAllah ketagihan. Di semester yang terbilang muda, saya memang belum memiliki banyak pengalaman mengajar. Tapi, di kampus saya tidak sedikit wadah-wadah untuk mahasiswa belajar mengajar, baik dari fakultas, jurusan, ormawa, maupun UKM. Bahkan bisa dibilang, hampir seluruh program sosial UM adalah mengajar. Bagi kalian yang bercita-cita menjadi pendidik, cocok nih kuliah di UM J Nah loh, iklan.

            Waktu itu, ketika resmi menjadi mahasiswa fakultas sastra saya sedikit mendapat cibiran-cibiran dari para manusia yang mengenal saya. Kata mereka menekuni bidang sastra dan bercita-cita untuk menjadikan bidang tersebut sebagai pekerjaan pokok adalah miskin. Serius ini. Mungkin dalam angan-angan mereka profesi saya nantinya tidak sehebat dokter, polisi wanita, engineer atau bahkan manager perusahaan besar. Ya silakan berpikir seperti itu (masih kurang dalam rupanya).

Menjadi seorang pelajar yang baru saja akan menekuni bidang tersebut tidaklah mudah nampaknya. Saya kuwalahan dengan materi-materi dalam kuliah saya. Saya merasa minder ketika teman-teman saya lebih cekatan, terlebih perihal seluk beluk sastra. Apalah saya yang belum mengetahui apa-apa sebelumnya. Benar-benar menyebalkan para manusia yang mengatakan bahwa kuliah jurusan bahassa dan sastra Indonesia itu mudah, jadi ngapain dipelajari lagi? Wkwk, cobain deh.

            Nah, pasti diantara kalian banyak yang bertanya, apa saja sih yang akan dikaji? Ada dua bagian besar, yaitu tentang kebahasaan dan kesusastraan (apabila mengambil jurusan dengan embel-embel pendidikan, maka akan ada tambahan matkul pendidikan). Secara umum ada 4 keterampilan berbahasa yang akan dikaji yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Terlihat mudah memang, semua orang pasti bisa melakukannya. Nyatanya, saya pribadi tetap kelagapan dengan hal tersebut. Ke-empat keterampilan tersebut adalah keterampilan yang pada dasarnya ada dalam kehidupan manusia.

Menyimak, terkesan mudah. Memanfaatkan indra pendengaran untuk menyerap informasi dari orang lain, tetapi pada lapangannya tidak semua informasi dapat terserap dengan sempurna. Karena apa, banyak diantara kita yang belum mengetahui cara menyimak yang benar. Menyimak dengan tepat, artinya benar-benar dapat menangkap apa yang dibicarakan hingga dapat menceritakan kembali. Diperlukan ketelitian, kecepatan otak dalam menangkap apa yang didengar, bahkan diperlukan kemampuan mendengar yang baik.

Berbicara, pemanfaatan mulut dalam penyampaian suatu informasi tidak dapat dipungkiri memang perlu dilatih. Beda pendengar pasti akan beda cara penyampaian dan penggunaan bahasanya. Dengan matakuliah ini saya rasa manfaatnya besar sekali untuk kedepannya, untuk hidup diantara masyarakat.

Membaca, sejak kecil kita telah diajarkan membaca. Menangkap informasi dalam bentuk tulisan. Lalu, mengapa Indonesia tetap menjadi negara rendah literasi? Karena kita hanya sebatas membaca, tanpa perlu menangkap informasi dan menyampaikannya kembali. Mirisnya,minat baca pun saat ini begitu rendah dan dinilai sebagai aktivitas yang membosankan.

Menulis, nah untuk keterampilan yang satu ini memang diakui sebagai keterampilan tingkat tinggi. Bukan perihal memindahkan huruf-huruf saja, namun juga merangkainya menjadi sebuah karya yang mengandung informasi di dalamnya. Goals dari keterampilan ini yaitu menciptakan sebuah karya tulis. Matakuliah ini begitu membantu saya menjadi mahasiswa yang produktif. Tidak hanya fiksi saja, namun juga non fiksi. Dan ke-empat keterampilan tersebut saya yakin membawa manfaat besar ke depannya.

Selain keterampilan-keterampilan tersebut, jurusan ini juga mengajarkan tentang tata bahasa, Mulai dari seluk beluk bunyi huruf, kata, frase, Klaus, hingga membentuk kalimat. Ini bagian tersulitnya. Kita harus memahami bagaimana suatu kata atau kalimat itu dapat terbentuk, bagaimana proses pengucapan bunyi huruf, dan lain-lain. Mata kuliah yang mempelajari itu di antaranya: Fonologi (mempelajari bunyi atau fon), Morfologi (mempelajari pembentukan kata), Sintaksis (mempelajari susunan kata, frase, dan kalimat) dan, Semantik (mempelajari makna). Selain mata kuliah tersebut, terdapat juga mata kuliah seperti sosiolinguistik,  Analisis Kesalahan Berbahasa, dll. Masih banyak sekali, dan semuanya tidak terkesan membosankan, malah mengasyikkan.

Itu tadi tentang kebahasaannya, untuk kesusastraan di sini kita akan mempelajari tentang prosa, puisi, drama, sastra klasik, sejarahnya, teori sastra, kritik-kritik sastra, dll. Pada mata kuliah yang melingkupi sastra saya sedikit kesulitan dan kebingungan. Bagi saya pribadi, belajar ilmu sastra itu rumit yang  menyenangkan. Walaupun ada bosan-bosannya juga, karena isinya hanya membaca, mengkaji, presentasi apalagi Bahasa yang digunakan terkesan berat dan sukar dipahami. Tetapi percayalah, ada hal menarik yang begitu menyenangkan di dalamnya. Cieelahh…. Eh tenang ada saatnya tidak hanya berteori saja, namun juga praktik berkarya. Bahkan kalian juga dapat merasakan bertukar Bahasa dengan mahasiswa asing loh.

Kalau mau tahu lebih lengkap, nanti saya jabarkan berdasarkan KRS (Kartu Rencana Studi) saya. Hehehe tetapi lewat obrolan pribadi ya. J Kiranya itu yang dapat saya infokan. Oh ya mungkin ada yang bertanya-bertanya tentang prospek kerja jurusan ini ya,  kalian dapat menjadi seorang guru Bahasa Indonesia, penulis atau Sastrawan, Dosen,  Editor, Reporter, Pembawa acara, Mengajar bahasa Indonesia untuk orang asing di sekolah internasional atau bahkan luar negeri, dll. Tidak perlu ragu bahkan khawatir, karena selagi kita hidup di Indonesia dan selagi masih menggunakan bahasa Indonesia, pasti lulusan bahasa Indonesia tetap dicari. Untuk pekerjaan, tidak ada keterampilan berbahasa yang tidak bermanfaat untuk kehidupan. See you on the next article. Terima kasih.