Diari Rosi | Oleh-Oleh Maba




PIALA PERTAMA UNTUK SEMESTER PERTAMA

(Rosida Eka Oktaviani Pakartining Madu)

            Rasanya seperti tertimpa durian. Walau sebenarnya aku tak menyukai buah tersebut, tetapi banyak orang berkata bahwa tertimpa durian laksana mendapat rejeki berlimpah yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Katanya. Ya aku sih ikut saja. Baiklah mendapatkan predikat juara pertama di acara kampus memang sudah terpikirkan olehku. Bahkan masuk dalam list mimpi yang wajib aku wujudkan dalam hidup. Jadi, apa ini intinya sudah direncanakan?
            Ya. Tuhan memiliki banyak cara untuk membuat hambanya terkejut. Memang benar jika manusia hanya bisa merencanakan, tanpa bisa menggariskan. Diantara banyaknya mimpi yang harus kucapai, aku memang mengharuskan diriku menjadi juara pertama dalam suatu kompetisi kampus, apapun itu. Sedikit memaksa memang, tapi sudah sewajarnya itu aku lakukan. Aku adalah tipe anak yang harus dipaksa dulu dalam segala hal kecuali makan. Karena ada kepercayaan di balik quote The Power of Kepepet.
            Sama seperti ceritaku kali ini, ada peran quote tersebut di dalamnya. Di kampus tercintaku (hmm… kata-kata kuno yang sampai saat ini pun masih sering digunakan) kompetisi olahraga dan kesenian digelar, PORSENIMABA 2016 namanya. Awalnya aku tidak mengetahui kompetisi tersebut, bahkan saat pendaftaran telah dibuka. Hal ini baru kuketahui ketika diriku pulang dari asrama putra dan melintasi Jalan Cakrawala, terpampang banner ukuran besar dengan tulisan PORSENIMABA 2016 lengkap dengan tanggal pendaftaran dan tulisan “bisa mendaftar di fakultas masing-masing”. Hanya itu untuk yang lain seperti cabang lomba dan prosedur pendaftaran tidak tertera. Kala itu aku sedikit tertarik dengan seninya, karena sebenarnya menulis juga merupakan seni. Seni merangkai aksara.
            Baik. Tidak terlalu menjadi pikiranku sih, bahkan sudah tak terpikirkan. Lalu saat H-2 penutupan pendaftaran aku mendapat info tersebut lebih detail lagi. Info tersebut aku dapatkan di grup Griya Sastra Cerpen FS UM. Langsung deh aku tindak lanjuti, kali aja masih bisa daftar, iseng iseng gak jelas gitu. Singkat cerita ketua Bemfa saat itu, Mbak Kikin membantu menjadi jembatan aku ketika pra lomba, dan semua info lomba dapat sampai dengan selamat ke aku.
foto bersama para pemenang porsenimaba fakultas sastra
            Saat hari H aku benar-benar kebingungan, alias rempong banget. Tahu kenapa? Hari itu juga aku ada UAS lisan Bhs. Inggris Akademik, dan bahan untuk ujian lisan yang berkelompok belum aku print out ditambah lagi pikiran tugas asrama yang belum sempat terselesaikan. Ada yang lebih membuatku kebingungan, mbak Kikin sulit dihubungi dan surat dispenku masih entah bagaimana kabarnya. Karena hari masih cukup pagi dan lomba dilaksanakan pukul 08.00 WIB, maka aku lari dulu ke gedung D7 untuk sekedar menyerahkan tugas. Bayangin deh jarak antara gedung A3 dan D7 itu tidak sedekat pandangan mata loh, parah harus kilat dengan kaki mungilku (hehehe walau biasa jalan kaki, tapi namanya dikejar waktu tetap saja tidak biasa). Sebenarnya ini juga kesalahanku karena aku menutup mulut ke teman-temanku tentang keikutsertaanku ini, So I must be doing by my self. Alhamdulillah, tidak terlalu ribet juga berurusan dengan Ibu dosen cantik yang baik hati. Aku bisa ijin dengan mudah, dan langsung meluncur lagi ke gedung lomba, yang kala itu nafasku terengah-engah. Kalau saja itu salah satu adegan film, pasti gak usah ulang-ulang take, because this is natural acting. Hahaha
            Pukul 7.55 WIB aku baru tiba di tempat. Aku atur nafasku yang sedang liar tak karuan. Sejujurnya ide tak mengalir deras dalam penulisan artikel ini. Pokoknya aku kacau karena kelelahan, but no problem aku pasang wajah sok tenang yang ditenang-tenangin. (Hahaha bayangin saja sendiri bagaimana bentuknya). Lomba dibuka oleh panitia dengan sambutan ringan, dan pembacaan peraturan. Bodoh amat, aku tenangkan diriku dulu sambil meneguk air yang diberikan panitia tadi di awal. 
Narsis dulu calon gurunya hihihi

            Pemutaran video dimulai. Video tersebut akan menjadi akar ide dari karya peserta. Kalau aku boleh curhat, tema yang disuguhkan tidak pernah kusentuh sedikit pun. Aku tidak pernah membuat karya dengan genre selembut itu. Sepertinya panitia memang menguji kemampuan yang bertolak belakang dengan kebiasaanku sebelumnya. Setelah sekitar 7 menit pemutaran video tersebut aku mulai membaca lagi coretan kerangkaku. Bingung, mau kubawa kemana ini kerangka.

            Kebiasaanku yang kata Si Meri aneh mulai muncul. Apa itu? memandangi satu persatu orang yang ada di sekitarku, sampai dia salah tingkah karena kebingungan. Biasa saja sih sebenarnya, mungkin dia yang menganggap aneh ini semua. Sedikit pengalaman, waktu aku diajak teman sekamar untuk cari Wifi di fakultas teknik, aku sedang menyelesaikan sebuah cerpen. Nah, saat itu aku kehabisan ide. Akhirnya kebiasaanku muncul secara tiba-tiba, aku memandangi seorang pria berseragam elektro biru unyu-unyu (yang unyu-unyu seragamnya bukan orangnya). Awalnya ia tak sadar, tapi beberapa saat kemudian ia tersadar dan mulai salah tingkah. Hahaha, mulai dari kebingungan lihat aku, pura-pura ngobrol sama teman sampingnya, pindah posisi dari yang menghadap barat jadi hadap utara, pokoknya kelihatan banget saltingnya. Karena lucu, aku godain aja sekalian, aku pandangin aja dia terus sampai ideku muncul. Apakah ideku akhirnya muncul? Nggak juga, aku malah ketawa puas tanpa ada ide baru. “Tolong dikondisikan, Ross!” Meri mengingatkan.
            Back to the first topic. Setelah sekitar 20 menit aku mengajak otak ku jalan-jalan, aku mendapatkan secercah cahaya yang melintas, tapi ilang neh…! Hahaha, nggak kok, aku mulai menulis dan merangkai kata demi kata. Singkat peristiwa aku sempat mengubah nama tokoh dua kali (sumpah, ini nggak penting! Abaikan) Lalu aku juga sempat mengubah sudut pandang cerita ini hingga tiga kali. Tahu sendiri kan akibat dari sudut pandang yang berulang kali diubah, yaaa tepat! Mengubah keseluruhan dari cerita. Hahaha memang gila aku. Lalu saat waktu kurang 10 menit, aku kebingungan menentukan judul. Ada pengubahan judul sebanyak empat kali, tapi ujung-ujung nya tetap kembali ke judul pertama “Jemari Tuhan (Masih Adakah Cinta Di sana?) ya itu… Check in here

            Sudah sih, sampai segini doang sebenarnya ceritaku. Hari demi hari kulewati seperti biasanya, tidak ada yang istimewa (Sumpah, basi ini kalimat!) Sampai pada akhirnya ada Whatsapp dari Kak Kikin masuk. Isinya ucapan selamat, dan file undangan dari BEM. Namanya juga minggu UAS, udah tidak kepikiran dan lupa kalau pernah ikut PORSENIMABA. Kaget? Nggak, tapi jantung kesenanganku tidak terkontrol, sampai lupa jika besok ada UAS Agama.
            Keremponganku timbul, karena waktu antar UAS dan undangan itu bertabrakan. So, what am I doing? Akhirnya aku mencoba menghubungi dosen agamaku, bagaimana baiknya. Alhamdulillah, beliau mengijinkanku untuk ke undangan terlebih dahulu, dan menyusul ujian di jam berikutnya. Keesokan harinya, UAS agama lebih maju dari jam sebenarnya. I’m so happy, today is a blessed day for me. Yeayy…!
            Udah sih gitu aja sebenarnya. Ya saat acara aku bertemu dengan mahasiswa berprestasi sekampus. Mulai dari cabang saintek, olahraga, hingga seni berkumpul jadi satu. Melihat wajah-wajah berprestasi jauh lebih memacu diriku untuk ikut berprestasi lagi seperti mereka. Lebih termotivasi lagi untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang sudah aku rencanakan untuk satu gelar ke depan. And arise confident that I could be a achievement student. I will be achieved stars in the sky with my way. Yuuuhuuu….

Sastra Mboiss

Cerpen: Jemari Tuhan | Sebuah Karya



           
JEMARI TUHAN
(MASIH ADA CINTA DI SANA)

Oleh: Rosida Eka Oktaviani Pakartining Madu


Kubisikkan doaku di celah-celah ruang hidupku, Tuhanku satu….”
           
Pernah terlintas suatu pemikiran bodoh dari diriku. Akulah insan paling merugi sepanjang masa. Aku merasa Tuhan tidak adil. Hingga saat aku menulis kisah ini pun aku masih berpikir Tuhan tidak menyayangi semua hamba-Nya, termasuk aku. Mungkin hanya orang kaya, sempurna fisik, dan sehat mentalah yang dicintai oleh yang kata mereka pencipta alam semesta. Bodoh.
             Kenangan buruk yang sukses membuat hati, pikiran hingga mimpiku hancur itu susah lenyap. Mungkin merekalah pencipta alam semesta yang dengan bebasnya menari-nari di tanah milik sendiri. Tidak lagi Tuhan. Atau bisa jadi merekalah Tuhan. Bukan. Tuhan itu Esa. Baiklah berarti salah satu dari mereka. Bisa yang paling bermateri, paling tampan, atau yang paling garang. Terpenting sekarang aku benci mereka. Entah mereka Tuhan atau bukan.
            Ketika masa dasarku selesai. Aku melanjutkan sekolah di sekolah khusus penyandang disabilitas. Mungkin aku lebih cocok di sana. Aku mulai hari-hariku dengan semangat baru, walau jika hati kecil ini dapat bicara dan kalian dapat mendengar, rintihannya dapat menjadi tetes-tetes rintikan.
Masih dalam suasana semester baru, seorang siswi dengan perawakan sederhana, terkesan normal dan tidak cacat apa-apa masuk ke kelas. Reno si penyuka wanita pun terlihat bahagia kala itu. Entah bagaimana rasa bahagia itu dapat tergambar dalam senyumannya. Untung saja bakat menarinya tidak keluar. Kalau saja ia nekat menari, mungkin ia jauh patah hati lagi karena harus ditinggal kabur oleh siswi baru itu. Aku sih tidak tertarik. Belum terlintas kala itu tentang gadis. Apa itu gadis? Untuk jatuh hati saja aku tidak sempat.
“ Dua ditambah dua berapa?”
“Tiga,”
“Du..a ditam..bah du..a sama dengan?”
“Em..pat”
“Jika dua puluh ribu ditambah dua puluh ribu, berapa?
Navika, gadis ceria berhati ibu itu dengan sabar mengajariku berhitung. Tidak ada sedikit pun kemarahan yang tergambar. Ternyata Tuhan mengirimkan satu malaikat yang berhati putih, yang luar biasa tulusnya. Atau mungkin gadis itu Tuhan? Dari hati aku mengadu, aku kagum dengan gadis bernama Navika. Ia bagai cerminan dari ibuku.
Sepi. Hanya ada aku termangu di bawah pohon. Segelas minuman kemasan berada dalam genggamanku. Aku menatap lurus, jauh ke depan. Tidak ada pandangan lain selain ingatanku tentang kenangan kelamku. Mungkin bagi orang lain sikap traumaku keterlaluan. Tapi bagiku, bagi penyandang disabilitas, tidak ada yang lebih menyakitkan ketimbang mendapat celoteh sara, dan tindakan tidak pantas dari orang-orang yang aku sebut pencipta semesta tadi.
Dari kejauhan aku melihat seseorang berjalan ke arahku. Navika menghampiriku dengan dua kotak makan di tangannya. Dengan senyum khas gadis Jogja itu ia duduk bersila di sampingku. Menyodorkan salah satu kotak makannya.
“ Kau hanya diam? Apa kamu tidak lapar?” ia menyapa sekaligus bertanya.
“ Tidak.” Jujur saja hanya itu jawabanku.
“ Mari makan. Aku sudah menyiapkan satu kotak makanan untukmu.” Ia berucap dengan lembut, dan satu lagi senyumannya tak pernah tertinggal.
Aku tidak bisa menolak untuk kedua kalinya. Karena saat itu pula aku juga merasa perlu asupan. Kami hening sejenak. Aku fokus ke makananku, namun kulirik ia lebih fokus ke diriku. Ada sesuatu yang sepertinya hendak ia katakan. Mungkin ia sedang mencari waktu yang tepat, dan celah yang pas untuk bicara. Aku melanjutkan makanku.
“Mengapa kamu tidak melanjutkan sekolah yang selaras dengan sekolahmu dulu?” tiba-tiba gadis itu membuka mulutnya.
“Tidak, aku tidak ingin bertemu dengan Tuhan yang jahat,”
“Apa kamu mempunyai kisah kelam di masa lalu?”
“Tentu. Aku benci masa lalu! Aku benci mereka yang berlaku seperti Tuhan! Coba katakan padaku, Navika! Apakah mereka Tuhan?” emosiku mulai tak terkendalikan.
“Mengapa kau begitu membenci mereka? Apa mereka sempat berlaku buruk dengamu?”
“Aku merasa mereka adalah Tuhan, dan aku hanyalah manusia yang bisa mereka perlakukan sesuka mereka. Aku selalu dikucilkan, dicela, bahkan diperlakukan seperti hewan. Aku benci dengan mereka?”
“Apa kamu tidak ingin memaafkan mereka?”
“Tidak akan.”
“Begini, mereka bukan Tuhan. Mereka sama dengan kamu, sama dengan aku. Hanya saja mereka sempat khilaf dan bisa saja mereka tidak sengaja mengucilkan kamu. Tuhan itu Cuma satu. Tuhan itu sayang dengan hamba-Nya. Dan kamu harus paham itu” jelas Navika dengan kebijaksanaannya. Masih dengan senyumannya.
“Tidak. Tuhan itu penguasa alam semesta. Dan aku lihat mereka seperti penguasa di sekolah.  Aku tidak ingin memaafkan mereka,” aku masih tersedu-sedu.
“Baiklah. Jika kamu tidak ingin memaafkan mereka. Tapi pahamilah Tuhan hanya satu, dan itu bukan mereka. Sudah jangan berkecil hati, tersenyumlah.” Ujarnya begitu menenangkan kalbu, selalu dibawanya senyum tipis dengan pipi berlesung. Begitu manis.
Aku tidak ingin melanjutkan makanku. Aku masih meramu ucapan-ucapan Navika yang sulit aku cerna. Ada maksud apa ia berbicara seperti itu. Baiklah. Aku butuh waktu untuk memahami itu. Sampai saat ini pun aku menilai Tuhan tidak adil. Titik.
“Ada yang salah Mirza? Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, habiskan makananmu,” kesekian kalinya, senyumannya tak pernah tertinggal.
“Mengapa kamu mau berteman dengan aku?” tanyaku.
“Hahaha… jelas,  Tuhan mengajariku untuk berteman dengan perbedaan, Mirza.”
“Maksudnya?” aku bingung.
“Jika kita berteman mencari persamaan sama saja yang hitam tetap hitam. Putih akan tetap putih. Tidak akan ada warna lain. Bukankah Mirza menyukai pelangi?” aku mengangguk.
Navika melanjutkan ucapannya.
“Nah, kalau begitu bertemanlah dengan semua orang, Mirza. Jangan takut karena sebuah lukisan yang terlihat indah, ada warna-warna yang saling mengindahkan, tapi juga ada yang memburukkan. Itulah kehidupan. Tidak semua akan cantik, Mirza paham?”
Aku diam sejenak mencoba mencari celah ruang dalam otak ku agar menemukan sedikit harta karun. Sebuah jawaban. Jujur aku susah mencerna uraian panjang kata-kata Navika. Baiklah. Aku mengangguk mengerti. Walau saja tidak sepenuhnya, tetapi pesannya sudah tertangkap.
“Sekarang Mirza mau kan berteman dengan semua orang? Mirza ingin tahu Tuhan yang sebenarnya bukan? “ Aku mengangguk kesekian kalinya.
“Percaya pada Navika, bertemanlah dengan yang lainnya, bermain dengan mereka. Insyaallah Mirza tahu Tuhan Mirza itu seperti apa baiknya,”
“Mirza akan mencoba,”
Navika tersenyum dan mengangkat jempolnya ke arahku. Aku telah berjanji padanya untuk bermain bersama dengan mereka. Terkadang jatuh, namun sedikit pengarahan  aku bangkit lagi. Kini Tuhan tak hanya penguasa tapi pencipta skenario kehidupan. Mereka mampu memnguasaiku, tapi Tuhanku lebih sanggup menguasai mereka. Senandung lagu mengalun perlahan, mendayu.

“Kenangan ini mengharu biru, menyatu dalam syahdu rindu. Biarkan jiwa terbang menembus liar angkasa mencari sekawanan tanpa batas ruang dan waktu….”

****