#Membaca Masyarakat
Cerita Lebaran: Media Sosial Justru Berakibat Antisosial
![]() |
photo by: negerikitasendiri |
Era
globalisasi yang semakin hari semakin canggih telah berhasil mempermudah segala
aktivitas manusia. Ditambah dengan hadirnya media sosial yang nyatanya dapat
menjalin komunikasi lebih efektif dalam jangkauan yang luas. Sayangnya,
kemudahan ini memiliki kenyataan yang tak terduga. Sekarang banyak ditemukan
pengguna media sosial yang salah menempatkan penggunaan kemudahan
tersebut. Sebagian banyak dari mereka
lebih asik dengan dunia media sosial mereka daripada berinteraksi dengan dunia
nyata.
Artinya apakah media sosial justru membuat manusia menjadi anti sosial?
Salah
satu pengalaman terjadi saat lebaran kali ini. Tidak sedikit manusia
memanfaatkan media sosial untuk mengucapkan “Selamat Hari Raya” dan meminta
maaf melalui chat Whatsapp, instastory, tweet, dan media sosial lainnya. Aku
juga melakukannya, hehe. Alasanku adalah aku tidak dapat bertatap muka untuk
meminta maaf dengan manusia tersebut dalam momen lebaran kali ini. Untuk teman
dan saudara yang sekiranya masih dapat berjumpa, aku meminta maaf sekaligus
silaturahmi secara langsung. Nyatanya, masih ada broadcast ucapan “Selamat
berlebaran” bertebaran tanpa memikirkan
siapa penerima pesannya. Bukan aku pastinya.
Kejadian
lain yang sempat aku amati adalah asik bermain gawai di rumah saudara. Ya,
ternyata masih banyak manusia yang lebih tertarik mengobrol dengan gawai mereka
daripada dengan sesama manusia yang nyata di depan mata. Tidak hanya anak muda,
ternyata generasi 70-an juga mengalami kecanduan tersebut. Selain tidak nyaman
dilihat mata, banyak sekali momen-momen berharga hilang begitu saja. Bagaimana
tidak, waktu yang seharusnya dimanfaatkan untuk bertegur sapa berbagi cerita
harus rela direnggut asiknya dunia maya.
Sebelum
membahas lebih lanjut, perlu diketahui bahwa istilah antisosial memiliki
perbedaan antara definisi secara ilmu psikologi dan antisosial yang disebut-sebut
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ilmu psikologi atau kejiwaan, istilah
antisosial sering disebut dengan schizoid, yakni sebuah gangguan kepribadian
yang bentuknya menghindari hubungan dengan manusia serta tidak menunjukkan
banyak emosi. Sedangkan istilah antisosial yang disebut dalam tulisan ini
mengacu pada impact penggunaan media
sosial secara berlebihan, hingga mengabaikan dunia nyatanya.
Studi
telah menunjukkan bahwa manusia yang menghabiskan sedikitnya tiga kali mengecek
media sosial dalam sehari, lebih mungkin terisolasi secara sosial. Ditambah
lagi penggunaan media sosial yang disalahartikan. Misal, anggapan bahwa media
sosial dapat menggantikan pengalaman berinteraksi secara nyata, bahkan
merangkapnya. Apabila mereka terus terperangkap, maka tidak menutup kemungkinan
mereka akan membandingkan penampilan mereka dengan penampilan pengguna media
sosial lainnya. Poppito menambahkan bahwa manusia semacam ini akan tertekan
jika tidak dapat mengikuti trend dunia maya ke dunia nyata. Ditambah lagi
banyaknya informasi yang mudah diakses tanpa perlu difilter.
Bagaimana
cara bijak bermain media sosial dan jauh dari sikap antisosial?
Media
sosial sangat mempengaruhi perkembangan psikologis dan sosial manusia, terutama
bila sudah mengenalnya semenjak kanak-kanak. Pasalnya, pada usia anak-anak
mereka membutuhkan stimulasi dan sosialisasi di dunia yang nyata. Oleh sebab
itu, sangat diperlukan peran orangtua untuk membatasi keaktifan di dunia maya
serta membiasakan berinteraksi dengan dunia nyata. Dapat sekadar menyapa atau
membiasakan mengobrol dengan keluarga dekat.
Cara
lain adalah dengan kesadaran diri bahwa kehidupan dunia maya sebatas agar
terhubung dengan orang-orang yang jarang bisa kita temui di dunia nyata. Lalu
sadar bahwa kita sebenar-benarnya hidup di dunia nyata, bukan dunia maya. Ambil
tindakan untuk memberi batas maksimal waktu penggunaan media sosial, agar tetap
seimbang antara kesehatan mental dan fisik. Mari bermedia sosial dengan bijak J